Kepakan Sayap Garuda Di Antara 3 Peradaban
Catatan Harian Seorang Dokter Muda
(seri: 1)
Pada suatu petang di sebuah gubug reot, di salah satu Dusun yang terletak di Kecamatan DAMPIT, sebuah wilayah yang berada di antara perbatasan Malang dan Lumajang, Jawa Timur, seorang pria tua dengan rambut yang semuanya memutih, duduk di sebuah kursi roda yang juga sudah sama-sama reot, sambil membaca sebuah novel berjudul; "KURSI ANAK DAUD".
Setelah
membaca halaman pertama buku yang masih baru itu, lamunan Pak Tua itu
melayang jauh ke sebuah peristiwa puluhan tahun yang lalu. Peristiwa
itu begitu masih segar dalam ingatan pria tua yang masih terlihat gagah
itu, namun harus duduk di KURSI RODA karena salah satu kakinya harus
diamputasi setelah tertembak saat diterjunkan di Kota Dili pada minggu
pagi 7 Desember 1975.
Ruangan
yang full AC itu penuh dengan para Perwira Senior TNI. Pangkat
terendah adalah Mayor. Pangkat tertinggi adalah Letjen (bintang tiga).
Mereka semua adalah Perwira piliahan dan juga sekaligus Komandan dari
tiap unit Pasukan elit Indonesia. Dua di antara pasukan elit itu
adalah Kopasandha dan Kostrad.
Tampak
di sudut ruangan bagian depan, terpampang peta kota Dili yang
diset-up secara khusus dan di sejumlah tempat dibubuhi dengan tanda
panah, lingkaran dan segi tiga sama sisi. Seorang Perwira berbadan
gempal yang duduk paling pojok mencoba menghitung jumlah tanda panah,
lingkaran dan segi tiga sama sisi yang ada dalam peta tersebut.
Perwira
itu menghitung sesuai arah jarum jam. Ternyata urut-urutannya adalah;
5 ANAK PANAH, 1 segi tiga SAMA KAKI dan 8 LINGKARAN. Jumlah yang
penuh makna. Ya; 518. Jika ketiga digit bilangan ini
dijumlahkan maka akan menghasilkan bilangan "14". Para pakar bilangan,
mulai dari Bapa Bilangan; Pythagoras, sampai ahli bilangan abad 20,
Prof. Ravindra Kumar, selalu menekankan dalam karya-karya mereka, bahwa bilangan "14" adalah BILANGAN MATAHARI.
Dikatakan BILANGAN MATAHARI, mungkin
salah satu alasannya adalah dikarenakan bilangan 14 jika dijumlahkan akan menghasilkan bilangan
5. Dan berdasarkan urutan 7 tangga nada, urutan tangga nada yang ke-5
berbunyi: SOL (do re mi fa SOL la si). Frasa SOL, adalah
Bahasa Portugis, yang artinya: MATAHARI. Kata SOL, sebenarnya bukan
bahasa asli Bangsa Portugis. Tapi kata ini hasil asimilasi dari Bahasa
Latin yaitu SOLE, yang juga artinya MATAHARI. Jadi baik SOL maupun SOLE, artinya sama-sama MATAHARI.
PANAH, Segi Tiga SAMA KAKI & LINGKARAN, merupakan simbol-simbol yang juga penuh
makna. Kenapa harus tanda-tanda itu? Kenapa bukan tanda lainnya? Apakah
ada maskudnya? Dan yang lebih aneh lagi, mengapa SEGI TIGA SAMA KAKI itu digambarkan secara terbalik. Sehingga tampak sama bentuknya dengan PIRAMIDA TERBALIK. Ya, bentuknya PIRAMIDA TERBALIK. Dan PIRAMIDA TERBALIK ini rada-rada mirip dengan sebuah CAWAN. Ini benar-benar simbol-simbol yang penuh misteri.
Mengapa harus simbol-simbol itu? Mengapa bukan simbol-simbol yang lain? Perwira di pojok ruangan itu terus bertanya dalam hati. Perwira itu untuk kesekian kalinya kembali membaca tulisan yang tertera di atas peta Kota Dili. Terdapat sebuah kalimat yang ditulis dengan huruf-huruf kapital menggunakan spidol biru berjudul: "OPERASI SEROJA, 7 DESEMBER 1975".
Mengapa harus simbol-simbol itu? Mengapa bukan simbol-simbol yang lain? Perwira di pojok ruangan itu terus bertanya dalam hati. Perwira itu untuk kesekian kalinya kembali membaca tulisan yang tertera di atas peta Kota Dili. Terdapat sebuah kalimat yang ditulis dengan huruf-huruf kapital menggunakan spidol biru berjudul: "OPERASI SEROJA, 7 DESEMBER 1975".
Setelah
membaca judul itu, perwira itu kembali termenung. "Mengapa harus 7
Desember? Sekali lagi; Mengapa harus 7 Desember?" Kalimat judul itu
membawa lamunannya pada peristiwa fenomenal 37 tahun yang lalu, saat
pecahnya perang Asia Timur Raya, ketika pasukan Kamikaze (pasukan berani
mati dari Negeri Matahari/Jepang) menyerang Pasukan Angkatan Laut
Amerika, pada 7 Desember 1941, yang dikenal dengan Tragedi Pearl Harbor.
Tragedi
itu mengakibatkan lebih dari 3000 Marinir Amerika tewas, dan 8 kapal
perang Amerika tenggelam. Sebuah tragedi yang merupakan cikal-bakal
Perang Dunia II, yang juga menjadi alasan pendorong, yang di kemudian
hari memotivasi Otoritas Gedung Putih untuk pertama kalinya menggunakan
bom atom dalam sejarah peradaban manusia, yaitu menjatuhkan dua bom
mematikan yang dijuluki Little Boy dan Fat Man, di dua kota besar Jepang, yaitu Hiroshima, pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.
Diakui
atau tidak, dua bom atom itu menghancurkan moral perang Bangsa Jepang
dan Indonesia memanfaatkan kekalahan Jepang untuk memproklamirkan
Kemerdekaan NKRI. Perwira itu bergumam pelan dalam hatinya; "Seandainya
Amerika tidak menjatuhkan Little Boy dan Fat Man untuk
menghancurkan moral Jepang, saya tidak tahu, apakah Indonesia bisa
memproklamirkan Kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tepat 8 hari
setelah bom atom kedua dijatuhkan di Kota Nagasaki? Apakah ini berarti
bahwa Indonesia berutang budi dan jasa pada Bangsa Amerika?"
Lamunan
perwira itu terhenti, ketika tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah
seorang Perwira, berwajah ganteng dan dengan gagahnya berjalan penuh
kepercayaan diri menuju depan ruangan. Seluruh Perwira dalam ruangan itu
berdiri tegap, menatap tajam ke arah Sang Komandan yang baru saja
masuk.
"Selamat
sore saudara-saudara. Silahkan duduk kembali". Seluruh perwira
kembali duduk setelah membalas salam Sang Komandan yang ternyata
berpangkat paling tinggi di ruangan itu, yaitu Jenderal (bintang
empat).
Sang
Jenderal berjalan bolak balik di depan sambil melayangkan
pandangannya menatap ruangan yang dipenuhi perwira pilihan, tanpa
mengucapkan satu kata pun. Wajahnya tampak sangat serius seakan
memikirkan sesuatu yang amat penting. Tiba-tiba sang Jenderal berhenti
di dekat peta Kota Dili yang digantungkan di pojok ruangan.
Menatap
sebentar peta itu lalu berbalik mengambil spidol berwarna merah dan
kembali menuju peta itu kemudian menggambarkan sebuah SALIB dengan
ukuran sangat besar di tengah-tengah Peta kota Dili. Gambar Salib itu
begitu menonjol sekali dan menarik perhatian Perwira gempal di pojok
ruangan.
"SALIB? KOMPAS? Atau TANDA KEMATIAN?"
Mengapa SALIB itu harus berwarna merah? Apakah akan terjadi
peetumpahan darah dalam serangan Minggu pagi, 7 Desember 1975?" Apakah
akan banyak prajurit yang harus gugur ketika diterjunkan di atas Kota
Dili? Sejumlah pertanyaan terus bermunculan di benak sang perwira
berbadan gempal di pojok ruangan, setelah melihat tanda terakhir yang
dibubuhkan Sang Jenderal di tengah-tengah peta Kota Dili?
Bulu
kuduk perwira itu berdiri membayangkan pertumpahan darah dalam
rencana Operasi Seroja atas wilayah Timor Portugis. Ada perasaan tidak
enak yang dirasakan dalam hati kecilnya. Gambar-gambar di depan
mengarahkannya kepada penggalan-penggalan mimpinya beberapa hari yang
lalu, yang menurutnya sangat aneh. Ya, mimpi yang aneh.
OPERASI PENYELAMATAN PANGERAN MATAHARI UNTUK MENDUDUKI KURSI ANAK DAUD. Mimpinya beberapa hari yang lalu jika dirangkai akan menghasilkan isu ini. OPERASI PENYELAMATAN PANGERAN MATAHARI UNTUK MENDUDUKI KURSI ANAK DAUD.
Perwira
itu mencoba menghubung-hubungkan simbol-simbol yang tertera di peta
Kota Dili dan isu-isu yang bermunculan dalam mimpinya dan berharap
menemukan satu artikulasi yang bermakna. Di tengah-tengah lamunannya,
tiba-tiba terdengar suara Sang Jenderal memecahkan kesunyian ruangan
yang full AC.
"OPERASI
SEROJA YANG SUDAH PASTI AKAN KITA LAKUKAN TEPAT MINGGU PAGI, TANGGAL 7
DESEMEBR 1975, DENGAN MENGANGKUT PASUKAN DARI LAPANGAN TERBANG MADIUN
DAN MENERJUKANNYA DARI ATAS KOTA DILI ADALAH SEBUAH OPERASI UNTUK
MENYELAMATKAN PANGERAN MATAHARI. DAN PANGERAN MATAHARI ADA HUBUNGANNYA
DENGAN HUKUM TAURAT. MAKA JANGAN PERNAH MERASA BERSALAH, APALAGI
MERASA BERDOSA, ATAS APAPUN YANG TERJADI. KARENA MISI OPERASI INI
UNTUK TUJUAN-TUJUAN MULIA. DAN SUDAH PASTI KORBAN AKAN BERJATUHAN. DAN
INI LUMRAH TERJADI DALAM OPERASI MILITER DI BELAHAN BUMI MANAPUN".
Sang Komandan berbintang empat itu mengucapkan sebuah kalimat yang mengejutkan seluruh perwira dalam ruangan itu.
BERSAMBUNG
Posted 23rd May by Rama Clinico
No comments:
Post a Comment