Sunday, August 5, 2012

PANGERAN TATANA:


Kepakan Sayap Garuda Di Antara 3 Peradaban

Catatan Harian Seorang Dokter Muda

(seri: 1)

 

Pada suatu petang di sebuah gubug reot, di salah satu Dusun yang terletak di Kecamatan DAMPIT, sebuah wilayah yang berada di antara perbatasan Malang dan Lumajang, Jawa Timur, seorang pria tua dengan rambut yang semuanya memutih, duduk di sebuah kursi roda yang juga sudah sama-sama reot, sambil membaca sebuah novel berjudul; "KURSI ANAK DAUD". 

  
Setelah membaca halaman pertama buku yang masih baru itu, lamunan Pak Tua itu melayang jauh ke sebuah peristiwa puluhan tahun yang lalu. Peristiwa itu begitu masih segar dalam ingatan pria tua yang masih terlihat gagah itu, namun harus duduk di KURSI RODA karena salah satu kakinya harus diamputasi setelah tertembak saat diterjunkan di Kota Dili pada minggu pagi 7 Desember 1975.
Ruangan yang full AC itu penuh dengan para Perwira Senior TNI. Pangkat terendah adalah Mayor. Pangkat tertinggi adalah Letjen (bintang tiga). Mereka semua adalah Perwira piliahan dan juga sekaligus Komandan dari tiap unit  Pasukan elit Indonesia. Dua di antara pasukan elit itu adalah Kopasandha dan Kostrad.
Tampak di sudut ruangan bagian depan, terpampang peta kota Dili yang diset-up secara khusus dan di sejumlah tempat dibubuhi dengan tanda panah, lingkaran dan segi tiga sama sisi. Seorang Perwira berbadan gempal yang duduk paling pojok mencoba menghitung jumlah tanda panah, lingkaran dan segi tiga sama sisi yang ada dalam peta tersebut.
Perwira itu menghitung sesuai arah jarum jam. Ternyata urut-urutannya adalah; 5 ANAK PANAH, 1 segi tiga SAMA KAKI dan 8 LINGKARAN. Jumlah yang penuh makna. Ya; 518. Jika ketiga digit bilangan ini dijumlahkan maka akan menghasilkan bilangan "14". Para pakar bilangan, mulai dari Bapa Bilangan; Pythagoras, sampai ahli bilangan abad 20, Prof. Ravindra Kumar, selalu menekankan dalam karya-karya mereka, bahwa bilangan "14" adalah BILANGAN MATAHARI
Dikatakan BILANGAN MATAHARI, mungkin salah satu alasannya adalah dikarenakan bilangan 14 jika dijumlahkan akan menghasilkan bilangan 5. Dan berdasarkan urutan 7 tangga nada, urutan tangga nada yang ke-5 berbunyi: SOL (do re mi fa SOL la si). Frasa SOL, adalah Bahasa Portugis, yang artinya: MATAHARI. Kata SOL, sebenarnya bukan bahasa asli Bangsa Portugis. Tapi kata ini hasil asimilasi dari Bahasa Latin yaitu SOLE, yang juga artinya MATAHARI.  Jadi baik SOL maupun SOLE, artinya sama-sama MATAHARI.   
  
PANAH, Segi Tiga SAMA KAKI & LINGKARAN, merupakan simbol-simbol yang juga penuh makna. Kenapa harus tanda-tanda itu? Kenapa bukan tanda lainnya? Apakah ada maskudnya? Dan yang lebih aneh lagi, mengapa SEGI TIGA SAMA KAKI itu digambarkan secara terbalik. Sehingga tampak sama bentuknya dengan PIRAMIDA TERBALIK. Ya, bentuknya PIRAMIDA TERBALIK. Dan PIRAMIDA TERBALIK ini rada-rada mirip dengan sebuah CAWAN. Ini benar-benar simbol-simbol yang penuh misteri. 

Mengapa harus simbol-simbol itu? Mengapa bukan simbol-simbol yang lain? Perwira di pojok ruangan itu terus bertanya dalam hati. Perwira itu untuk kesekian kalinya kembali membaca tulisan yang tertera di atas peta Kota Dili. Terdapat sebuah kalimat yang ditulis dengan huruf-huruf kapital menggunakan spidol biru berjudul: "OPERASI SEROJA, 7 DESEMBER 1975".


Setelah membaca judul itu, perwira itu kembali termenung. "Mengapa harus 7 Desember? Sekali lagi; Mengapa harus 7 Desember?" Kalimat judul itu membawa lamunannya pada peristiwa fenomenal 37 tahun yang lalu, saat pecahnya perang Asia Timur Raya, ketika pasukan Kamikaze (pasukan berani mati dari Negeri Matahari/Jepang) menyerang Pasukan Angkatan Laut Amerika, pada 7 Desember 1941, yang dikenal dengan Tragedi Pearl Harbor.
Tragedi itu mengakibatkan lebih dari 3000 Marinir Amerika tewas, dan 8 kapal perang Amerika tenggelam. Sebuah tragedi yang merupakan cikal-bakal Perang Dunia II, yang juga menjadi alasan pendorong, yang di kemudian hari memotivasi Otoritas Gedung Putih untuk pertama kalinya menggunakan bom atom dalam sejarah peradaban manusia, yaitu menjatuhkan dua bom mematikan yang dijuluki Little Boy dan Fat Man, di dua kota besar Jepang, yaitu Hiroshima, pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.
Diakui atau tidak, dua bom atom itu menghancurkan moral perang Bangsa Jepang dan Indonesia memanfaatkan kekalahan Jepang untuk memproklamirkan Kemerdekaan NKRI. Perwira itu bergumam pelan dalam hatinya; "Seandainya Amerika tidak menjatuhkan Little Boy dan Fat Man untuk menghancurkan moral Jepang, saya tidak tahu, apakah Indonesia bisa memproklamirkan Kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tepat 8 hari setelah bom atom kedua dijatuhkan di Kota Nagasaki? Apakah ini berarti bahwa Indonesia berutang budi dan jasa pada Bangsa Amerika?"
Lamunan perwira itu terhenti, ketika tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seorang Perwira, berwajah ganteng dan dengan gagahnya berjalan penuh kepercayaan diri menuju depan ruangan. Seluruh Perwira dalam ruangan itu berdiri tegap, menatap tajam ke arah Sang Komandan yang baru saja masuk.

"Selamat sore saudara-saudara. Silahkan duduk kembali". Seluruh perwira kembali duduk setelah membalas salam Sang Komandan yang ternyata berpangkat paling tinggi di ruangan itu, yaitu Jenderal (bintang empat). 
Sang Jenderal berjalan bolak balik di depan sambil melayangkan pandangannya menatap ruangan yang dipenuhi perwira pilihan, tanpa mengucapkan satu kata pun. Wajahnya tampak sangat serius seakan memikirkan sesuatu yang amat penting. Tiba-tiba sang Jenderal berhenti di dekat peta Kota Dili yang digantungkan di pojok ruangan.
Menatap sebentar peta itu lalu berbalik mengambil spidol berwarna merah dan kembali menuju peta itu kemudian menggambarkan sebuah SALIB dengan ukuran sangat besar di tengah-tengah Peta kota Dili. Gambar Salib itu begitu menonjol sekali dan menarik perhatian Perwira gempal di pojok ruangan.
"SALIB? KOMPAS? Atau TANDA KEMATIAN?" Mengapa SALIB itu harus berwarna merah? Apakah akan terjadi peetumpahan darah dalam serangan Minggu pagi, 7 Desember 1975?" Apakah akan banyak prajurit yang harus gugur ketika diterjunkan di atas Kota Dili? Sejumlah pertanyaan terus bermunculan di benak sang perwira berbadan gempal di pojok ruangan, setelah melihat tanda terakhir yang dibubuhkan Sang Jenderal di tengah-tengah peta Kota Dili? 
Bulu kuduk perwira itu berdiri membayangkan pertumpahan darah dalam rencana Operasi Seroja atas wilayah Timor Portugis. Ada perasaan tidak enak yang dirasakan dalam hati kecilnya. Gambar-gambar di depan mengarahkannya kepada penggalan-penggalan mimpinya beberapa hari yang lalu, yang menurutnya sangat aneh. Ya, mimpi yang aneh.
OPERASI PENYELAMATAN PANGERAN MATAHARI UNTUK MENDUDUKI KURSI ANAK DAUD. Mimpinya beberapa hari yang lalu jika dirangkai akan menghasilkan isu ini. OPERASI PENYELAMATAN PANGERAN MATAHARI UNTUK MENDUDUKI KURSI ANAK DAUD.
Perwira itu mencoba menghubung-hubungkan simbol-simbol yang tertera di peta Kota Dili dan isu-isu yang bermunculan dalam mimpinya dan berharap menemukan satu artikulasi yang bermakna. Di tengah-tengah lamunannya, tiba-tiba terdengar suara Sang Jenderal memecahkan kesunyian ruangan yang full AC.
"OPERASI SEROJA YANG SUDAH PASTI AKAN KITA LAKUKAN TEPAT MINGGU PAGI, TANGGAL 7 DESEMEBR 1975, DENGAN MENGANGKUT PASUKAN DARI LAPANGAN TERBANG MADIUN DAN MENERJUKANNYA DARI ATAS KOTA DILI ADALAH SEBUAH OPERASI  UNTUK MENYELAMATKAN PANGERAN MATAHARI. DAN PANGERAN MATAHARI ADA HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM TAURAT. MAKA JANGAN PERNAH MERASA BERSALAH, APALAGI MERASA BERDOSA, ATAS APAPUN YANG TERJADI. KARENA MISI OPERASI INI UNTUK TUJUAN-TUJUAN MULIA. DAN SUDAH PASTI KORBAN AKAN BERJATUHAN. DAN INI LUMRAH TERJADI DALAM OPERASI MILITER DI BELAHAN BUMI MANAPUN".

Sang Komandan berbintang empat itu mengucapkan sebuah kalimat yang mengejutkan seluruh perwira dalam ruangan itu.
                                         

BERSAMBUNG

                                                                            

Posted by

No comments:

Post a Comment