Saturday, August 11, 2012

SI TANGAN SABAT: "Entitas Real Atau Sebuah Utopia? (seri: 2)



Presiden & Perdana Menteri TL Tidak Akan Memimpin 5 Tahun Jika Si Tangan Sabat Benar-Benar Ada 


Pada kesempatan kali ini saya tampilkan kembali artikel berjudul: MPS (MISTERI PENAMPAKAN SION), yang berisi peristiwa misteri yang saya alami pada Februari 1994 (18 tahun yang lalu), yang sudah pernah beberapa kali dipublikasikan, baik melalui FB maupun melalui situs lama (rosapy).

Apakah SI TANGAN SABAT itu benar-benar ada dan exist sebagai sebuah "entitas" yang real? Atau SI TANGAN SABAT hanyalah hasil sebuah utopia dari seorang penulis?

Salah satu referensi yang amat penting menjadi dasar keyakinan saya, bahwa SI TANGAN SABAT itu memang benar-benar ada dan exist, bukan karena sebuah utopia, karena berdasarkan "pengalaman aneh" yang saya alami sendiri yang terjadi pada bulan Februari tahun 1994, sebagaimana dapat Anda baca dalam kisah aneh di bawah ini. Bagi yang sudah pernah membaca kisah misteri di bawah, boleh di-skip saja.

 MPS (MISTERI PENAMPAKAN SION), FEBRUARI 1994

Pada Februari 1994, saya sedang menjalani koskap (praktek sebagai dokter muda) di Lab Anasthesi RSUP Sanglah Denpasar. Pada 3 Februari 1994, dini hari, saya memperoleh mimpi yang sangat aneh. Saat itu saya diminta dr. Alex Suranadi, yang waktu itu (1994) masih berstatus Residen Anesthesi, untuk melakukan observasi ketat terhadap pasien (pria paruh baya) asal Perancis yang masuk RSUP Sanglah pada 2 Februari 1994, karena menderita peritonitis acut.

Pada 2 Februari 1994, sebenarnya bukan jadwal jaga saya. Tapi oleh dr Suranadi (saat ini dikenal sebagai salah satu Ahli Anesthesi brilian RSUP Sanglah/Staf Pengajar Anesrhesi FK UNUD), saya diminta tukaran jaga dengan dokter muda yang lain, karena pasien Perancis tersebut hanya bisa berhasa Perancis campur Inggris dan Portugis.

Hari itu, setelah selesai operasi (laparatomy), pasien dipindahkan dari OK ke ruang HCU. Menjelang tengah malam pasien itu masih terus berteriak-teriak. Maka saya menelpon dr. Suranadi. Dr. Suranadi bersama dr. Sahadewa, (kakak tingkat saya/Angkatan Trochanter 1987/saat ini sudah Sp.OG/Beliau seangkatan dengan senior saya dr. Joao Soares Martins,PhD,MPH/Dekan Kedokteran UNTL saat ini), mendatangi ruang HCU. Lalu saya dan dr. Sahadewa membantu dr. Suranadi menyuntikkan morphin, dengan cara langsung dimasukkan lewat saraf tulang belakang.

Setelah disuntikkan morphin, pasien tersebut tidur tenang. Karena saya hanya diminta untuk mengobservasi pasien tersebut, maka begitu pasien tersebut tertidur, saya juga ikut-ikutan tidur. Dalam tidur itulah saya memperoleh mimpi yang sangat aneh.

Dalam mimpiku dini hari, 3 Februari 1994, muncul dua Malaikat bersama sejumlah orang Suci. Dalam mimpi malam itu, dua Malaikat tersebut meminta saya harus pergi ke Bukit Sion, yang terletak di lereng Gunung Ramelau Timor Leste. Kata 2 Malaikat itu dalam mimpi, bahwa salah satu (tapi bukan satu-satunya) tujuan saya dipanggil ALLAH ke Bukit Sion adalah untuk mengikuti apa yang disebut sebagai: SPP (Serimoni Pergantian Peradaban), dan di sana sekaligus ALLAH hendak memberkati program Catur Mobilisai (sebuah program yang saya canangkan ketika saya menjalani fungsi sebagai Ketua Umum IMPETTU Bali Periode 1993-1998).

Saat itu dalam mimpi, saya berusaha keras menolak. Banyak alasan yang saya sampaikan kepada dua Malaikat itu. Saya tidak mau pergi ke Bukit Sion, karena selain jauh, juga jalur menuju Bukit Sion yang terletak jauh di hutan belantara, lereng Gunung Ramelau Timor Leste, penuh dengan anggota Falintil (Pasukan Gerilya Pro Kemerdekaan Timor Leste) dan Pasukan TNI anti gerilya. Maka pergi ke Bukit Sion, sama saja dengan mengantarkan nyawa untuk diserahkan ke mulut serigala.

Tapi karena dua Malaikat itu mengatakan yang memanggil saya ke Bukti Sion adalah ALLAH, maka diliputi oleh "rasa takut" yang mendalam, saya harus memenuhi permintaan 2 Malaikat itu. Apalagi salah tujuan saya dipanggil ALLAH ke Bukit Sion adalah karena ALLAH berkenan memberkati program Catur Mobilisasi. Kebetulan saat itu, setelah terpilih secara resmi sebagai Ketua Umum IMPETTU Bali (pada Minggu, 18 April 1993), Pembina IMPETTU Bali tidak bersedia melantik saya, karena alasan-alasan tertentu yang tidak perlu saya uraikan di sini. Sebagian dialog yang terjadi dalam mimpi 3 Februari 1994, adalah sebagai-berikut;

Ketika diminta ke Bukit Sion, pertama saya bilang; “Tidak punya uang untuk naik pesawat Denpasar-Dili”. Dua Malaikat itu menjawab; “Akan ada orang dari Timor Leste yang memberi kamu uang”. Saya mencoba kembali berkelit. “Tapi saat ini saya sedang sibuk”. Kedua Malaikat itu, sambil disaksikan sejumlah orang kudus bertanya; “Kamu sibuk melakukan apa?” Saya menjawab; “Saya sedang sibuk menjalani koskap (praktek sebagai dokter muda)”. Lalu kedua Malaikat kembali bertanya; “Kamu sibuk menjalani koskap untuk apa?’ Saya menjawab; “Karena saya ingin menjadi dokter”. Lagi-lagi saya ditanya; “Mengapa kamu ingin menjadi dokter?” Dengan lantangnya saya menjawab; “Karena saya ingin menyelamatkan jiwa manusia”.

Mendengar jawaban saya, kedua Malaikat tersenyum seakan-akan mengejek saya. Senyuman dua Malaikat ini menimbulkan tanda tanya. Apa yang salah dari jawaban saya? Mungkinkah saya terlalu sombong karena mengatakan; “Saya mau menjadi dokter karena menurutku dokter bisa menyelamatkan jiwa manusia?” Tapi kalau dipikir-pikir, yang mampu menyelamatkan jiwa manusia hanyalah ALLAH. Bukan dokter. Dokter hanya mencoba mengobati pasien semampunya. Malam itu, setelah saya memberikan jawaban bahwa saya ingin menjadi dokter untuk menyelamatkan jiwa manusia, kedua Malaikat kembali bertanya; "Mampukah manusia menyelamatkan jiwa manusia?  Mendapat pertanyaan itu, saya hanya menunduk diam membisu (seakan mati kutu).



Akhirnya setelah mimpi itu, pada 7 Februari 1994, di Swalayan Tiara Dewata Denpasar, saya tidak sengaja bertemu Alamrhum Manuel Viegas Carracalao (adik mantan Gubernur TimTim/Ir. Mario Viegas Carrascalao), yang hari itu bersama istrinya (wanita asli Indonesia) sedang berbelanja di sana dan memberi saya sejumlah uang, persis seperti kata Malaikat dalam mimpi. Rupanya Bapak Manuel Carrascalao, saat itu mewakili DPRD Tim-Tim hadir di Bali karena diundang Kodam IX Udayana untuk ikut menghadiri hajatan milik Kodam IX Udayana.

Hari itu, 7 Februari 1994, saya bersama 2 teman saya lainnya, yaitu; dr. Artur Corte Real,Sp.D (alumnus FK UNUD yang mendapatkan gelar Spesialis Penyakit Dalam dari Universitas St. Tomas Filipina/saat ini sedang melanjutkan studi di FK UI, mengambil Sub Cardiologi), dan Sdr. Tadeu Francisco de Araujo (alumnus FE UNDIKNAS/mantan Ketua II IMPETTU Bali)/periode 1993-1998), diberi sejumlah uang oleh Bapak Manuel Carrascalao.

Bermodalkan uang pemberian Bapak Manuel Carrascalao, saya langsung booking tiket pesawat pada 7 Februari 1994. Pada 8 Februari 1994, saya menuju Dili. Pada 14 Februari 1994, saya menuju Atsabe. Sekadar informasi, kota Atsabe adalah sebuah kota kecil, yang terletak sekitar 95 KM sebelah barat daya kota Dili. Di kota inilah Presiden Timor Leste saat ini, Prof. Em. Jose Manuel Ramos Horta, tumbuh dan berkembang. Dulu, jaman Portugis, ayah Beliau, Manuel Horta, menjabat sebagai Admnistrador Kecamatan Atsabe.

Juga di kota inilah lahir salah satu “Bangsawan Timor Leste”, yang ikut menanda-tangani Declarasi Balibo, yaitu Raja Guilherme Maria Goncalves (mantan Gubernur Tim-Tim kedua). Wilayah Kecamatan Atsabe adalah satu-satunya wilayah di Timor Leste yang dikenal sebagai; Daerah Bali. Mengapa dijuluki demikian? Belum saatnya untuk dibahas di sini. Barang kali karena Atsabe dijuluki sebagai “Daerah Bali” itulah, saya yang kebetulan kelahiran Atsabe betah tinggal di Bali hingga saat ini.

Setelah berada di kota Atsabe, pada 17 Februari 1994, saya dan serombongan pria mencoba berangkat ke Bukit Sion. Tapi hari itu jalur yang akan kami lalui sedang terjadi kontak senjata antara TNI dan Falintil. Terjadi kejar-kejaran antara TNI dan Falintil. Hari itu salah satu anggota Falintil bernama Pedro, ibu jarinya putus terkena tembakan TNI. Saat ini yang bersangkutan masih hidup.

Gara-gara kontak senjata pada 17 Februari 1994, kami lari kocar-kacir, kembali ke Atsabe. Orang-orang yang sebelumnya sudah bersedia mendampingi saya ke Bukit Sion, mengurungkan niat mereka. Mereka menyarankan, sebaiknya kepergian ke Bukit Sion dibatalkan saja, karena sedang tidak aman. Mereka pada ketakutan karena trauma. Akhirnya malam itu saya datang berdoa di Gereja St. Yoseph di kota Atsabe. Saya berdoa di sana lama sekali hingga tengah malam. Dalam keadaan trance, St. Yoseph menampakkan diri dan berjanji akan mengirimkan seekor anjing untuk membimbing saya menuju Bukit Sion. Malam itu saya tertidur di dalam Gereja St. Yoseph. Dinginnya minta ampun. Rasanya tulang ini mau patah.

Sekadar info untuk diketahui, Gereja Atsabe Pelindungnya (Padroeira) adalah Santo Yoseph, karena konon, pada abad pertengahan St. Yoseph pernah menampakkan diri di sebuah bukit bernama Sosara yang terletak di Desa Laklo Kecamatan Atsabe.

Nama depan Presiden Timor Leste saat ini, Jose, (Manuel Ramos Horta), diadopsi dari nama Paroki Santo Yoseph Kecamatan Atsabe. Presiden Timor Leste; Prof. Em. Jose Manuel Ramos Horta, dibaptis di Gereja Sao Jose (baca: Saung Juze).

Pada 18 Februari 1994, pagi-pagi sekali, saya menemukan anjing gaib berbulu putih bersih, yang dijanjikan St. Yoseph di kuburan yang tidak jauh dari Gereja St. Yoseph. Saya mencapai Bukit Sion, atas panduan anjing gaib kiriman St. Yoseph. Saya berada di Bukit Sion selama 3 hari (18, 19 & 20 Februari). Pada Minggu petang, 20 Februari 1994, saya kembali ke kota Atsabe. Saya tiba di kota Atsabe sudah tengah malam (bahkan mungkin sudah dini hari/ saya tidak menggunakan arloji), tapi tanpa anjing gaib kiriman St. Yoseph.

Selama 3 hari (18, 19 & 20 Februari 1994) saya berada sendirian di Bukit Sion, dan mengikuti berbagai acara. Saat itu saya merasa seakan-akan berada di Surga dan mengikuti berbagai acara yang diselenggarakan di dalam Surga. Saya belum bisa menceritakan, secara lengakap dan detail mengenai substansi materi yang dibahas di Bukit Sion selama 3 hari tersebut. Mungkin saya akan menuliskannya dalam sebuah buku tersendiri. Tapi sekadar kronologis perjalanan dan keberadaan saya selama 3 hari di Bukit Sion dapat saya ceritakan sebagai-berikut;

Perjalanan menuju Bukit Sion saat itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran saya. Melakukan perjalanan dalam situasi damai tentu memiliki dampak psikologis yang berbeda jauh jika dibandingkan melakukan perjalanan penuh ketegangan di wilayah perang di mana desiran peluru dua kekuatan yang sedang bertikai, setiap saat bisa mencabut nyawa kita.

Jika saat itu saya berpapasan dengan Gerilyawan Pro Kemerdekaan Timor Leste, kemungkinan besar saya dibunuh. Demikian pula jika saya bertemu Pasukan TNI (anti gerilya) yang dilepas hidup di hutan belantara (yang performa fisiknya sulit dibedakan dengan tentara gerilya), juga kemunkinan saya dibunuh. Dan mati dalam situasi perang, tidak ada fihak yang harus dituntut untuk bertanggung-jawab. Hanya bermodalkan iman, saya bisa mencapai Bukit Sion.

Salah satu kesulitan terbesar yang saya hadapi dalam perjalanan menuju Bukit Sion, adalah sulitnya medan. Semakin mendekati Bukit Sion, sepanjang sekian kilometer penuh dengan batu-batuan yang runcing. Saya harus melewati tebing bebatuan yang curamnya mendekati 90º, dengan cara merangkak seperti anjing.

Sebelum mencapai tempat yang dimaksud, saya dan anjing gaib itu disambut puluhan bahkan ratusan ekor kera. Saya mencoba menghitung jumlah kawanan kera yang bermunculan saat itu. Ketika hitungan saya mencapai bilangan 50, kera-kera itu malah semakin banyak bermunculan. Akhirnya saya menghentikan hitungan saya. Anehnya pemimpin kawanan kera itu ekornya buntung.

Saya terus mengiktui ke mana anjing gaib itu melangkah sambil digiring ratusan kera dari belakang. Akhirnya saya mencapai tempat yang dimaksud berkat bimbingan anjing gaib kiriman Santo Yoseph. Anjing gaib itu membawa saya menuju sebuah gua yang bentuknya aneh. Saya dan anjing gaib itu tiba di gua tersebut petang hari. Mulut gua itu sangat gelap dan hitam, persis mulut mahluk raksasa yang sedang menganga di permukaan bumi. Di depan mulut gua besar tersebut terdapat sebuah batu aneh yang bentuknya persis KURSI. Saya menamakannya : ”BATU KURSI”.

Posisi BATU KURSI tepat berhadapan dengan mulut gua. Saya kemudian duduk di atas “batu kursi” aneh itu. Rasanya seperti duduk di atas sebuah “kursi kebesaran”. Tujuan saya duduk di atas kursi kebesaran itu, dengan maksud untuk mencoba istirahat memulihkan tenaga. Karena saya merasa begitu sangat kelelahan. Saya tidak tahu apakah saya tertidur atau tidak. Tapi rasanya tidak lebih dari 5 menit, begitu saya membuka mata saya, situasi telah berubah drastis.

Saya bukan lagi sedang duduk di atas sebuah “batu kursi” di depan mulut gua yang hitam gelap. Tapi saya telah berada di dalam sebuah kota (mungkinkah itu kota TUHAN?) yang penuh dengan bangunan yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Wilayah itu penuh dengan rumah-rumah yang terbuat dari batu kristal atau batu permata, yang memancarkan warna-warna pelangi.

Di saat saya sedang mengagumi berbagai bentuk bangunan rumah yang sangat menakjubkan, yang tidak akan mungkin ditemukan di dunia nyata, tiba-tiba ada sebuah mobil aneh yang sangat mewah muncul dari jarak sekitar 100 meter menuju ke arah saya. Kemudian mobil itu berhenti tepat di depanku. Dari dalam mobil keluar dua Malaikat. Saya menyebut mereka Malaikat karena bersayap. Ternyata saya mengenali kedua Malaikat itu. Keduanya yang telah muncul dalam mimpiku pada tanggal 3 Februari 1994.

Kedua Malaikat lalu menyapa saya menggunakan Bahasa Portugis; “Boa tarde. Bemvindo”. Artinya; “Selamat sore. Selamat datang”. Itu adalah rangkaian “4 kata pertama” yang diucapkan bersamaan dari mulut kedua Malaikat ALLAH yang tampak penuh kemuliaan. Kemudian kedua Malaikat mempersilahkan saya naik ke mobil aneh tersebut. Malaikat yang satu duduk di belakang mobil. Saya dan Malaikat yang satu lagi, yang bertindak sebagai supir, duduk di depan. Mobil itu sama sekali tidak mengeluarkan bunyi apapun. Kami bertiga melewati tempat-tempat aneh dengan bangunan-bangunan rumah yang amat menakjubkan.

Dan yang juga menakjubkan, selama dalam perjalanan, saya hanya melihat orang-orang yang tidak satupun berwajah jelek. Seakan-akan di tempat itu tidak ada manusia berwajah jelek. Kami bertiga tiba di sebuah rumah besar yang sangat mewah, bagaikan istana yang amat sangat megah. Setelah mobil berhenti, saya diminta turun. Dan saya bersama Malaikat yang duduk di belakang memasuki pintu gerbang rumah mewah tersebut. Sementara Malaikat yang satu lagi tetap berada dalam mobil.

Kami disambut seorang suster, berwajah caukaosid, bermata biru. Suster itu memberikan ucapan selamat datang seperti yang diucapkan dua Malaikat sebelumnya. Kemudian Malaikat yang mengantarkan saya ke dalam, mengatakan kepada suster tersebut, bahwa orang “yang dipanggil” telah datang. Lalu Suster itu mengatakan; “Amo sira hein hela ita”. Kalimat ini (Bahasa Tetum) kalau diterjemahkan, artinya; “Para Imam sedang menunggu anda”. Rupanya saya sedang ditunggu para Pastor.

Akhirnya saya dan Malaikat itu keluar dari rumah mewah itu kembali ke mobil. Kami bertiga meneruskan perjalanan menuju sebuah bangunan mewah. Tiba di sana saya diminta turun dan memasuki bangunan tersebut. Begitu saya masuk ke dalam, saya merasa seakan-akan memasuki sebuah auditorium (tempat pertemuan) berukuran raksasa.

Ternyata di dalam ruangan auditorium raksasa tersebut, telah berkumpul ribuan Pastor, yang tidak bisa saya hitung. Saya diterima seorang Pastor berwajah caukasoid dan diantar ke sebuah deretan kursi paling depan yang ditempati oleh sekelompok Pastor yang semuanya berjubah HIJAU. Setelah saya duduk, kemudian muncullah dari atas panggung yang ada di depan kami, seorang Pastor yang seakan bertindak sebagai MC (Master of Ceremony/Pembawa Acara), untuk membuka acara pertemuan tersebut. Lalu setiap Imam yang mewakili kelompok masing-masing (semacam Ordo) maju ke depan untuk mempresentasikan banyak isu. Tidak perlu saya kemukakan isu-isu itu di sini karena isu-isu itu menyangkut hal-hal yang amat krusial dan sangat sensitif. Saat itu saya seakan-akan hadir di tempat itu sebagai peninjau (lebih tepatnya pendengar) untuk mendengarkan isu-isu yang dibahas.

Setelah presentasi dari setiap kelompok selesdai, diteruskan dengan session diskusi (tanya jawab). Beragam isu diangkat. Pendek kata, diskusi itu berlangsung sangat lama. Setelah pertemuan itu berakhir, saya diantar seorang Pastor keluar ruangan. Rupanya kedua Malaikat yang menjemput saya sedang menunggu di luar. Lalu saya diantar kedua Malaikat menuju sebuah istana mewah.

Di sana saya diterima seorang Pastor, yang lagi-lagi berwajah bule. Kemudian Pastor ini membawa saya memasuki sebuah wilayah, yang sepertinya wilayah itu adalah semacam Purgatori (Api Penyucian). Saya hentikan dulu kisah perjalanan saya diantar Pastor ini ke kawasan Api Penyucian. Akan saya teruskan pada lain waktu.

Setelah pulang dari kawasan Purgatori (Api Penyucian), saya kembali dijemput dua Malaikat yang menjemput saya pada hari pertama saya tiba di Bukit Sion. Saya naik mobil yang sama dan diantar ke sebuah tempat yang agak jauh dari rumah di mana saya dijemput. Tempat itu bentuknya seperti sebuah lapangan raksasa yang penuh dengan lautan manusia. Kesan saat saya melihat lautan manusia yang ada di lapangan raksasa itu, jumlahnya bermiliyar-milyar manusia. Saya tidak melihat ujung dari milyaran manusia yang ada di lapangan raksasa tersebut.

Begitu kami bertiga tiba di sana, ternyata lautan manusia saat itu sedang mengarahkan pandangan mereka ke atas sebuah panggung yang amat megah, di mana terdapat mendiang Bapa Suci, Paus Yohanes Paulus II bersama sejumlah “Calon Paus”, (saya dilarang menyebutkan jumlahnya). Saya diminta Malaikat turun dari mobil dan diminta naik ke atas panggung di mana sekumpulan “Calon Paus” dan mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II telah menunggu. Begitu saya tiba di atas panggung, saya disambut (disalami) mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II.

Mendiang Paus Yohanes Paulus II menggunakan jubah warna merah, yang dihiasi dengan asesori (semacam pernik-pernik) berwarna keemasan. Kemudian mendiang Paus berbicara dengan saya lama sekali (menggunakan Bahasa Tetum yang sudah berasimilasi dengan Bahasa Portugis). Saat mendiang Bapa Suci berbicara dengan saya, disaksikan oleh para “Calon Paus”, yang duduk dideretan kursi sebelah barat. Mereka (para Calon Paus) mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan mendiang Bapa Suci kepada saya. Isi pembicaraan mendiang Bapa Suci yang disampaikan kepada saya, tidak akan saya ceritakan di sini. Karena sangat amat rahasia. Setelah selesai menyampaikan semuanya, saya bersama mendiang Bapa Suci, Paus Yohanes Paulus II, berdiri dalam satu barisan (bersap, jadi bukan barisan berbanjar) dengan sejumlah “Calon Paus” yang akan muncul untuk menggantikan mendiang Paus Yohanes Paulus II.

Termasuk Bapa Suci Paus Benedictus XVI (Paus sekarang) juga saya lihat terdapat dalam barisan. Di belakang kami, terdapat lautan manusia. Jumlahnya seakan-akan bermiliyar-miliyar manusia yang sedang menyaksikan kami. Lalu mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II memberikan pengumuman (dalam Bahasa Tetum), dengan berkata begini; “Sekarang semuanya bersiap-siap, karena Takhta ALLAH akan segera terbuka, dan ALLAH akan menampakkan diri untuk mengumumkan segala sesuatunya mengenai isu-isu penting termasuk peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi di masa depan.

Setelah Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II berkata demikian, tidak berselang lama, sekitar 5 menit, tiba-tiba langit bergemuruh. Tempat di mana kami berdiri berguncang sangat hebat. Kami semua tidak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Semua orang yang ada di tempat itu, termasuk para Calon Paus dan mendiang Bapa Suci, jatuh tersungkur ke tempat kaki berpijak. Lalu langit terbuka. Muncul Takhta ALLAH dengan sinar yang amat menyilaukan mata. Kami mencoba melihat ke atas. Tapi sulit sekali. Lalu terdengarlah suara ALLAH yang menggelegar bagaikan desau air bah. Setelah beberapa saat berselang, saya mencoba melihat ke atas, dan saya saat itu saya sempat melihat ALLAH berbicara sambil mengacungkan Tangan Kanan-Nya.

ALLAH berkotbah tentang banyak hal. Di antaranya, ALLAH berkotbah tentang evolusi peradaban manusia di masa depan. Termasuk nasib “Tahkta Suci Kepausan”.

Setelah selesai berkotbah dari atas Takhta-Nya, ALLAH memberikan kesempatan kepada mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, untuk mengajukan pertanyaan. Saat itu mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II mengajukan ribuan pertanyaan kepada ALLAH. Setiap pertanyaan mendiang Bapa Suci (yang pernah mengunjungi Indonesia pada Oktober 1989), dijawab ALLAH dengan cara menampilkan jawaban-Nya secara visualisasi dari atas langit. Jadi setiap pertanyaan mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, yang membutuhkan visualisasi, ALLAH selalu menampilkannya dari atas langit. Saat itu kami bisa menyaksikannya layaknya menonton film lewat layar raksasa.

Saat itu ALLAH menjelaskan banyak isu penting yang belum saatnya saya singgung melalui naskah ini. Jadi saya hanya menyampaikan yang pantas dulu untuk diketahui saat ini. Termasuk di antaranya adalah bencana besar yang akan menimpa planet bumi.  Saat itu ALLAH menampilkan visualisasi badai raksasa dari atas langit, sambil menjelaskan segala sesuatunya mengenai “badai raksasa” itu dengan suara-Nya yang menggelegar bagaikan desau air bah. Kami menonton badai raksasa itu bagai menonton film lewat layar raksasa di atas langit.

Analog yang mendekati adalah persis Anda menonton siaran langsung sepak bola, sambil mendengarkan Sang Komentator menjelaskan jalannya pertandingan. Badai itu amat mengerikan. Seakan-akan tata surya runtuh. Gunung-gunung saling tabrakan kemudian hilang lenyap. Jutaan manusia hanyut oleh gelombang air laut yang mengerikan.

Yang juga amat mengerikan, ALLAH sengaja menampilkan lautan manusia berjubah putih, (pria dan wanita) yang ikut hilang lenyap. Visualisasi “badai raksasa” yang ditampilkan ALLAH dari atas langit Bukit Sion, ribuan kali lebih mengerikan dari badai yang divisualisasikan dalam film “2012”, arahan Sutradara Roland Emmerich.

Saking mengerikannya “badai raksasa” yang diperlihatkan ALLAH dari atas langit Bukit Sion, mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II (yang pernah mengunjungi Dili pada Kamis 12 Oktober 1989), mengajukan pertanyaan; “Kapan badai raksasa itu akan menimpa planet bumi?” Jawaban ALLAH terhadap pertanyaan mendiang Bapa Suci tersebut di atas, belum saatnya saya uraikan pada saat ini.

Harap dicatat, saya tidak mengatakan dunia akan kiamat pada tahun 2012-2013. Tapi saya mau bilang sesuatu yang amat penting akan terjadi pada saat-saat mendatang jika ALLAh tidak merubah Pikiran-Nya. Poinnya adalah bahwa “2012-2013 adalah sebuah misteri besar”. Dan misteri besar itu hanya dapat diungkap dengan menggunakan “BAHASA INDONESIA". Maka Bangsa Timor Leste sebaiknya jangan sampai mengabaikan BAHASA INDONESIA. Karena yang namanya bahasa, bukanlah ciptaan manusia. Bahasa itu karya ROH KUDUS. Maka mendeskritkan BAHASA MELAYU-INDONESIA, sama saja dengan mendeskritkan karya ROH KUDUS.

Dalam sejumlah naskah saya yang telah beredar antara 2005 – 2009 (ada lebih dari 30 naskah), saya selalu menyampaikan pesan kepada Pemimpin Negara Timor Leste, untuk melakukan amandemen Konstitusi Timor Leste, guna menaikkan status Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi, agar kedudukan Bahasa Indonesia di dalam Konstitusi Timor Leste, sama dan paralel dengan Bahasa Portugis. Tapi nampaknya proposal saya sama sekali diabaikan.

Kisah misteri yang saya alami selama 3 hari (18, 19 dan 20 Februari 1994), di Bukit Sion, lereng Gunung Ramelau Timor Leste, di mana ALLAH (BAPA) berbicara dari atas langit, sambil mengacungkan “tangan kanan-Nya” inilah, yang saya namakan; MPS (Misteri Penampakan Sion). Yang saya maksudkan ALLAH (BAPA) menampakkan diri, bukan berarti ALLAH (BAPA) memperlihatkan wajah-Nya kepadaku.

Wajah BAPA tidak mungkin terlihat dalam wujud apapun. Yang saya alami pada Februari 1994 adalah saya mendengar sebuah suara yang menggelegar bagaikan desau air bah dan pada saat yang bersamaan saya melihat sebuah tangan raksasa yang teracung dari balik Takhta yang sangat tinggi di atas Langit Bukit Sion. Karena itulah saya merangkainya menjadi sebuah (konstruksi) kalimat berbunyi; “ALLAH (BAPA) berbicara dari atas Takhta-Nya dengan suara-Nya yang menggelegar bagaikan desau air bah, sambil mengacungkan Tangan Kanan-Nya”.

Lanjutan mengenai kisah MPS (Misteri Penampakan Sion) akan saya teruskan pada kesempatan lain. Di antaranya, saat seorang Pastor (berwajah bule bermata biru) membawa saya memeriksa para “arwah” yang gugur selama perang berlangsung di Timor Leste, di mana para “arwah” tersebut belum bisa memasuki Kerajaan Surga, karena mereka belum memiliki nama dalam Kitab Kehidupan Abadi.

Akhirnya saya tiba kembali di kota Atsabe pada tengah malam (Minggu, 20 Februari 1994), tanpa anjing gaib kiriman Santo Yoseph. Kemanakah anjing gaib tersebut? Hanya ALLAH yang tahu (???).


BERSAMBUNG


Komentar Singkat

Tidak semua peristiwa dalam hidup ini bisa dijangkau dengan logika manusia yang fana dan terbatas. Termasuk masalah IMAN (kepercayaan). Jika ada IMAN yang bisa dibuktikan dengan logika, maka itu bukan lagi IMAN namanya.

No comments:

Post a Comment