Presiden & Perdana Menteri TL Tidak Akan Memimpin 5 Tahun Jika Si Tangan Sabat Benar-Benar Ada
Pada kesempatan kali ini saya tampilkan kembali artikel berjudul: MPS (MISTERI PENAMPAKAN SION), yang berisi peristiwa misteri yang saya alami pada Februari 1994 (18
tahun yang lalu), yang sudah pernah beberapa kali dipublikasikan, baik melalui FB maupun melalui situs lama (rosapy).
Apakah SI TANGAN SABAT itu benar-benar ada dan exist sebagai sebuah "entitas" yang real? Atau SI TANGAN SABAT hanyalah hasil sebuah utopia dari seorang penulis?
Salah satu referensi yang amat penting menjadi dasar keyakinan saya, bahwa SI TANGAN SABAT itu memang benar-benar ada dan exist, bukan karena sebuah utopia, karena berdasarkan "pengalaman aneh" yang saya alami sendiri yang terjadi pada bulan Februari tahun 1994, sebagaimana dapat Anda baca dalam kisah aneh di bawah ini. Bagi yang sudah pernah membaca kisah misteri di bawah, boleh di-skip saja.
MPS (MISTERI PENAMPAKAN SION), FEBRUARI 1994
Pada
Februari 1994, saya sedang menjalani koskap (praktek sebagai dokter
muda) di Lab Anasthesi RSUP Sanglah Denpasar. Pada 3 Februari 1994, dini
hari, saya memperoleh mimpi yang sangat aneh. Saat itu saya diminta dr. Alex Suranadi,
yang waktu itu (1994) masih berstatus Residen Anesthesi, untuk
melakukan observasi ketat terhadap pasien (pria paruh baya) asal
Perancis yang masuk RSUP Sanglah pada 2 Februari 1994, karena menderita
peritonitis acut.
Pada 2 Februari 1994, sebenarnya bukan
jadwal jaga saya. Tapi oleh dr Suranadi (saat ini dikenal sebagai salah
satu Ahli Anesthesi brilian RSUP Sanglah/Staf Pengajar Anesrhesi FK
UNUD), saya diminta tukaran jaga dengan dokter muda yang lain, karena pasien Perancis tersebut hanya bisa berhasa Perancis campur Inggris dan Portugis.
Hari
itu, setelah selesai operasi (laparatomy), pasien dipindahkan dari OK
ke ruang HCU. Menjelang tengah malam pasien itu masih terus
berteriak-teriak. Maka saya menelpon dr. Suranadi. Dr. Suranadi bersama
dr. Sahadewa, (kakak tingkat saya/Angkatan Trochanter 1987/saat ini
sudah Sp.OG/Beliau seangkatan dengan senior saya dr. Joao Soares
Martins,PhD,MPH/Dekan Kedokteran UNTL saat ini), mendatangi ruang HCU.
Lalu saya dan dr. Sahadewa membantu dr. Suranadi menyuntikkan morphin,
dengan cara langsung dimasukkan lewat saraf tulang belakang.
Setelah
disuntikkan morphin, pasien tersebut tidur tenang. Karena saya hanya
diminta untuk mengobservasi pasien tersebut, maka begitu pasien tersebut
tertidur, saya juga ikut-ikutan tidur. Dalam tidur itulah saya
memperoleh mimpi yang sangat aneh.
Dalam mimpiku dini
hari, 3 Februari 1994, muncul dua Malaikat bersama sejumlah orang Suci.
Dalam mimpi malam itu, dua Malaikat tersebut meminta saya harus pergi
ke Bukit Sion, yang terletak di lereng Gunung Ramelau Timor Leste. Kata
2 Malaikat itu dalam mimpi, bahwa salah satu (tapi bukan satu-satunya)
tujuan saya dipanggil ALLAH ke Bukit Sion adalah untuk mengikuti apa
yang disebut sebagai: SPP (Serimoni Pergantian Peradaban), dan di sana
sekaligus ALLAH hendak memberkati program Catur Mobilisai (sebuah
program yang saya canangkan ketika saya menjalani fungsi sebagai Ketua
Umum IMPETTU Bali Periode 1993-1998).
Saat itu dalam
mimpi, saya berusaha keras menolak. Banyak alasan yang saya sampaikan
kepada dua Malaikat itu. Saya tidak mau pergi ke Bukit Sion, karena
selain jauh, juga jalur menuju Bukit Sion yang terletak jauh di hutan
belantara, lereng Gunung Ramelau Timor Leste, penuh dengan anggota
Falintil (Pasukan Gerilya Pro Kemerdekaan Timor Leste) dan Pasukan TNI
anti gerilya. Maka pergi ke Bukit Sion, sama saja dengan mengantarkan
nyawa untuk diserahkan ke mulut serigala.
Tapi karena dua
Malaikat itu mengatakan yang memanggil saya ke Bukti Sion adalah ALLAH,
maka diliputi oleh "rasa takut" yang mendalam, saya harus memenuhi
permintaan 2 Malaikat itu. Apalagi salah tujuan saya dipanggil ALLAH ke
Bukit Sion adalah karena ALLAH berkenan memberkati program Catur
Mobilisasi. Kebetulan saat itu, setelah terpilih secara resmi sebagai
Ketua Umum IMPETTU Bali (pada Minggu, 18 April 1993), Pembina IMPETTU
Bali tidak bersedia melantik saya, karena alasan-alasan tertentu yang
tidak perlu saya uraikan di sini. Sebagian dialog yang terjadi dalam
mimpi 3 Februari 1994, adalah sebagai-berikut;
Ketika
diminta ke Bukit Sion, pertama saya bilang; “Tidak punya uang untuk naik
pesawat Denpasar-Dili”. Dua Malaikat itu menjawab; “Akan ada orang
dari Timor Leste yang memberi kamu uang”. Saya mencoba kembali
berkelit. “Tapi saat ini saya sedang sibuk”. Kedua Malaikat itu, sambil
disaksikan sejumlah orang kudus bertanya; “Kamu sibuk melakukan apa?”
Saya menjawab; “Saya sedang sibuk menjalani koskap (praktek sebagai
dokter muda)”. Lalu kedua Malaikat kembali bertanya; “Kamu sibuk
menjalani koskap untuk apa?’ Saya menjawab; “Karena saya ingin menjadi
dokter”. Lagi-lagi saya ditanya; “Mengapa kamu ingin menjadi dokter?”
Dengan lantangnya saya menjawab; “Karena saya ingin menyelamatkan jiwa
manusia”.
Mendengar jawaban saya, kedua Malaikat
tersenyum seakan-akan mengejek saya. Senyuman dua Malaikat ini
menimbulkan tanda tanya. Apa yang salah dari jawaban saya? Mungkinkah
saya terlalu sombong karena mengatakan; “Saya mau menjadi dokter karena
menurutku dokter bisa menyelamatkan jiwa manusia?” Tapi kalau
dipikir-pikir, yang mampu menyelamatkan jiwa manusia hanyalah ALLAH.
Bukan dokter. Dokter hanya mencoba mengobati pasien semampunya. Malam
itu, setelah saya memberikan jawaban bahwa saya ingin menjadi dokter
untuk menyelamatkan jiwa manusia, kedua Malaikat kembali bertanya;
"Mampukah manusia menyelamatkan jiwa manusia? Mendapat pertanyaan itu,
saya hanya menunduk diam membisu (seakan mati kutu).
Akhirnya
setelah mimpi itu, pada 7 Februari 1994, di Swalayan Tiara Dewata
Denpasar, saya tidak sengaja bertemu Alamrhum Manuel Viegas Carracalao
(adik mantan Gubernur TimTim/Ir. Mario Viegas Carrascalao), yang hari
itu bersama istrinya (wanita asli Indonesia) sedang berbelanja di sana
dan memberi saya sejumlah uang, persis seperti kata Malaikat dalam
mimpi. Rupanya Bapak Manuel Carrascalao, saat itu mewakili DPRD Tim-Tim
hadir di Bali karena diundang Kodam IX Udayana untuk ikut menghadiri
hajatan milik Kodam IX Udayana.
Hari itu, 7 Februari
1994, saya bersama 2 teman saya lainnya, yaitu; dr. Artur Corte
Real,Sp.D (alumnus FK UNUD yang mendapatkan gelar Spesialis Penyakit
Dalam dari Universitas St. Tomas Filipina/saat ini sedang melanjutkan
studi di FK UI, mengambil Sub Cardiologi), dan Sdr. Tadeu Francisco de
Araujo (alumnus FE UNDIKNAS/mantan Ketua II IMPETTU Bali)/periode
1993-1998), diberi sejumlah uang oleh Bapak Manuel Carrascalao.
Bermodalkan uang pemberian Bapak Manuel Carrascalao, saya langsung booking
tiket pesawat pada 7 Februari 1994. Pada 8 Februari 1994, saya menuju
Dili. Pada 14 Februari 1994, saya menuju Atsabe. Sekadar informasi, kota
Atsabe adalah sebuah kota kecil, yang terletak sekitar 95 KM sebelah
barat daya kota Dili. Di kota inilah Presiden Timor Leste saat ini,
Prof. Em. Jose Manuel Ramos Horta, tumbuh dan berkembang. Dulu, jaman
Portugis, ayah Beliau, Manuel Horta, menjabat sebagai Admnistrador
Kecamatan Atsabe.
Juga di kota inilah lahir salah satu
“Bangsawan Timor Leste”, yang ikut menanda-tangani Declarasi Balibo,
yaitu Raja Guilherme Maria Goncalves (mantan Gubernur Tim-Tim kedua).
Wilayah Kecamatan Atsabe adalah satu-satunya wilayah di Timor Leste yang
dikenal sebagai; Daerah Bali. Mengapa dijuluki demikian? Belum saatnya
untuk dibahas di sini. Barang kali karena Atsabe dijuluki sebagai
“Daerah Bali” itulah, saya yang kebetulan kelahiran Atsabe betah tinggal
di Bali hingga saat ini.
Setelah berada di kota Atsabe,
pada 17 Februari 1994, saya dan serombongan pria mencoba berangkat ke
Bukit Sion. Tapi hari itu jalur yang akan kami lalui sedang terjadi
kontak senjata antara TNI dan Falintil. Terjadi kejar-kejaran antara TNI
dan Falintil. Hari itu salah satu anggota Falintil bernama Pedro, ibu
jarinya putus terkena tembakan TNI. Saat ini yang bersangkutan masih
hidup.
Gara-gara kontak senjata pada 17 Februari 1994,
kami lari kocar-kacir, kembali ke Atsabe. Orang-orang yang sebelumnya
sudah bersedia mendampingi saya ke Bukit Sion, mengurungkan niat mereka.
Mereka menyarankan, sebaiknya kepergian ke Bukit Sion dibatalkan saja,
karena sedang tidak aman. Mereka pada ketakutan karena trauma.
Akhirnya malam itu saya datang berdoa di Gereja St. Yoseph di kota
Atsabe. Saya berdoa di sana lama sekali hingga tengah malam. Dalam
keadaan trance, St. Yoseph menampakkan diri dan berjanji akan
mengirimkan seekor anjing untuk membimbing saya menuju Bukit Sion.
Malam itu saya tertidur di dalam Gereja St. Yoseph. Dinginnya minta
ampun. Rasanya tulang ini mau patah.
Sekadar info untuk
diketahui, Gereja Atsabe Pelindungnya (Padroeira) adalah Santo Yoseph,
karena konon, pada abad pertengahan St. Yoseph pernah menampakkan diri
di sebuah bukit bernama Sosara yang terletak di Desa Laklo Kecamatan
Atsabe.
Nama depan Presiden Timor Leste saat ini, Jose,
(Manuel Ramos Horta), diadopsi dari nama Paroki Santo Yoseph Kecamatan
Atsabe. Presiden Timor Leste; Prof. Em. Jose Manuel Ramos Horta,
dibaptis di Gereja Sao Jose (baca: Saung Juze).
Pada 18
Februari 1994, pagi-pagi sekali, saya menemukan anjing gaib berbulu
putih bersih, yang dijanjikan St. Yoseph di kuburan yang tidak jauh
dari Gereja St. Yoseph. Saya mencapai Bukit Sion, atas panduan anjing
gaib kiriman St. Yoseph. Saya berada di Bukit Sion selama 3 hari (18,
19 & 20 Februari). Pada Minggu petang, 20 Februari 1994, saya
kembali ke kota Atsabe. Saya tiba di kota Atsabe sudah tengah malam
(bahkan mungkin sudah dini hari/ saya tidak menggunakan arloji), tapi
tanpa anjing gaib kiriman St. Yoseph.
Selama 3 hari (18,
19 & 20 Februari 1994) saya berada sendirian di Bukit Sion, dan
mengikuti berbagai acara. Saat itu saya merasa seakan-akan berada di
Surga dan mengikuti berbagai acara yang diselenggarakan di dalam Surga.
Saya belum bisa menceritakan, secara lengakap dan detail mengenai
substansi materi yang dibahas di Bukit Sion selama 3 hari tersebut.
Mungkin saya akan menuliskannya dalam sebuah buku tersendiri. Tapi
sekadar kronologis perjalanan dan keberadaan saya selama 3 hari di
Bukit Sion dapat saya ceritakan sebagai-berikut;
Perjalanan
menuju Bukit Sion saat itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran
saya. Melakukan perjalanan dalam situasi damai tentu memiliki dampak
psikologis yang berbeda jauh jika dibandingkan melakukan perjalanan
penuh ketegangan di wilayah perang di mana desiran peluru dua kekuatan
yang sedang bertikai, setiap saat bisa mencabut nyawa kita.
Jika
saat itu saya berpapasan dengan Gerilyawan Pro Kemerdekaan Timor
Leste, kemungkinan besar saya dibunuh. Demikian pula jika saya bertemu
Pasukan TNI (anti gerilya) yang dilepas hidup di hutan belantara (yang
performa fisiknya sulit dibedakan dengan tentara gerilya), juga
kemunkinan saya dibunuh. Dan mati dalam situasi perang, tidak ada fihak
yang harus dituntut untuk bertanggung-jawab. Hanya bermodalkan iman,
saya bisa mencapai Bukit Sion.
Salah satu kesulitan
terbesar yang saya hadapi dalam perjalanan menuju Bukit Sion, adalah
sulitnya medan. Semakin mendekati Bukit Sion, sepanjang sekian
kilometer penuh dengan batu-batuan yang runcing. Saya harus melewati
tebing bebatuan yang curamnya mendekati 90º, dengan cara merangkak
seperti anjing.
Sebelum mencapai tempat yang dimaksud,
saya dan anjing gaib itu disambut puluhan bahkan ratusan ekor kera.
Saya mencoba menghitung jumlah kawanan kera yang bermunculan saat itu.
Ketika hitungan saya mencapai bilangan 50, kera-kera itu malah semakin
banyak bermunculan. Akhirnya saya menghentikan hitungan saya. Anehnya
pemimpin kawanan kera itu ekornya buntung.
Saya terus
mengiktui ke mana anjing gaib itu melangkah sambil digiring ratusan
kera dari belakang. Akhirnya saya mencapai tempat yang dimaksud berkat
bimbingan anjing gaib kiriman Santo Yoseph. Anjing gaib itu membawa
saya menuju sebuah gua yang bentuknya aneh. Saya dan anjing gaib itu
tiba di gua tersebut petang hari. Mulut gua itu sangat gelap dan hitam,
persis mulut mahluk raksasa yang sedang menganga di permukaan bumi. Di
depan mulut gua besar tersebut terdapat sebuah batu aneh yang
bentuknya persis KURSI. Saya menamakannya : ”BATU KURSI”.
Posisi BATU
KURSI tepat berhadapan dengan mulut gua. Saya kemudian duduk di atas
“batu kursi” aneh itu. Rasanya seperti duduk di atas sebuah “kursi
kebesaran”. Tujuan saya duduk di atas kursi kebesaran itu, dengan
maksud untuk mencoba istirahat memulihkan tenaga. Karena saya merasa
begitu sangat kelelahan. Saya tidak tahu apakah saya tertidur atau
tidak. Tapi rasanya tidak lebih dari 5 menit, begitu saya membuka mata
saya, situasi telah berubah drastis.
Saya bukan lagi
sedang duduk di atas sebuah “batu kursi” di depan mulut gua yang hitam
gelap. Tapi saya telah berada di dalam sebuah kota (mungkinkah itu kota
TUHAN?) yang penuh dengan bangunan yang tidak bisa digambarkan dengan
kata-kata. Wilayah itu penuh dengan rumah-rumah yang terbuat dari batu
kristal atau batu permata, yang memancarkan warna-warna pelangi.
Di
saat saya sedang mengagumi berbagai bentuk bangunan rumah yang sangat
menakjubkan, yang tidak akan mungkin ditemukan di dunia nyata,
tiba-tiba ada sebuah mobil aneh yang sangat mewah muncul dari jarak
sekitar 100 meter menuju ke arah saya. Kemudian mobil itu berhenti
tepat di depanku. Dari dalam mobil keluar dua Malaikat. Saya menyebut
mereka Malaikat karena bersayap. Ternyata saya mengenali kedua Malaikat
itu. Keduanya yang telah muncul dalam mimpiku pada tanggal 3 Februari
1994.
Kedua Malaikat lalu menyapa saya menggunakan
Bahasa Portugis; “Boa tarde. Bemvindo”. Artinya; “Selamat sore. Selamat
datang”. Itu adalah rangkaian “4 kata pertama” yang diucapkan
bersamaan dari mulut kedua Malaikat ALLAH yang tampak penuh kemuliaan.
Kemudian kedua Malaikat mempersilahkan saya naik ke mobil aneh
tersebut. Malaikat yang satu duduk di belakang mobil. Saya dan Malaikat
yang satu lagi, yang bertindak sebagai supir, duduk di depan. Mobil
itu sama sekali tidak mengeluarkan bunyi apapun. Kami bertiga melewati
tempat-tempat aneh dengan bangunan-bangunan rumah yang amat
menakjubkan.
Dan yang juga menakjubkan, selama dalam
perjalanan, saya hanya melihat orang-orang yang tidak satupun berwajah
jelek. Seakan-akan di tempat itu tidak ada manusia berwajah jelek. Kami
bertiga tiba di sebuah rumah besar yang sangat mewah, bagaikan istana
yang amat sangat megah. Setelah mobil berhenti, saya diminta turun. Dan
saya bersama Malaikat yang duduk di belakang memasuki pintu gerbang
rumah mewah tersebut. Sementara Malaikat yang satu lagi tetap berada
dalam mobil.
Kami disambut seorang suster, berwajah caukaosid,
bermata biru. Suster itu memberikan ucapan selamat datang seperti yang
diucapkan dua Malaikat sebelumnya. Kemudian Malaikat yang mengantarkan
saya ke dalam, mengatakan kepada suster tersebut, bahwa orang “yang
dipanggil” telah datang. Lalu Suster itu mengatakan; “Amo sira hein hela ita”.
Kalimat ini (Bahasa Tetum) kalau diterjemahkan, artinya; “Para Imam
sedang menunggu anda”. Rupanya saya sedang ditunggu para Pastor.
Akhirnya
saya dan Malaikat itu keluar dari rumah mewah itu kembali ke mobil.
Kami bertiga meneruskan perjalanan menuju sebuah bangunan mewah. Tiba di
sana saya diminta turun dan memasuki bangunan tersebut. Begitu saya
masuk ke dalam, saya merasa seakan-akan memasuki sebuah auditorium
(tempat pertemuan) berukuran raksasa.
Ternyata di dalam
ruangan auditorium raksasa tersebut, telah berkumpul ribuan Pastor, yang
tidak bisa saya hitung. Saya diterima seorang Pastor berwajah
caukasoid dan diantar ke sebuah deretan kursi paling depan yang
ditempati oleh sekelompok Pastor yang semuanya berjubah HIJAU. Setelah
saya duduk, kemudian muncullah dari atas panggung yang ada di depan
kami, seorang Pastor yang seakan bertindak sebagai MC (Master of Ceremony/Pembawa
Acara), untuk membuka acara pertemuan tersebut. Lalu setiap Imam yang
mewakili kelompok masing-masing (semacam Ordo) maju ke depan untuk
mempresentasikan banyak isu. Tidak perlu saya kemukakan isu-isu itu di
sini karena isu-isu itu menyangkut hal-hal yang amat krusial dan sangat
sensitif. Saat itu saya seakan-akan hadir di tempat itu sebagai
peninjau (lebih tepatnya pendengar) untuk mendengarkan isu-isu yang
dibahas.
Setelah presentasi dari setiap kelompok
selesdai, diteruskan dengan session diskusi (tanya jawab). Beragam isu
diangkat. Pendek kata, diskusi itu berlangsung sangat lama. Setelah
pertemuan itu berakhir, saya diantar seorang Pastor keluar ruangan.
Rupanya kedua Malaikat yang menjemput saya sedang menunggu di luar.
Lalu saya diantar kedua Malaikat menuju sebuah istana mewah.
Di
sana saya diterima seorang Pastor, yang lagi-lagi berwajah bule.
Kemudian Pastor ini membawa saya memasuki sebuah wilayah, yang
sepertinya wilayah itu adalah semacam Purgatori (Api Penyucian). Saya
hentikan dulu kisah perjalanan saya diantar Pastor ini ke kawasan Api
Penyucian. Akan saya teruskan pada lain waktu.
Setelah
pulang dari kawasan Purgatori (Api Penyucian), saya kembali dijemput
dua Malaikat yang menjemput saya pada hari pertama saya tiba di Bukit
Sion. Saya naik mobil yang sama dan diantar ke sebuah tempat yang agak
jauh dari rumah di mana saya dijemput. Tempat itu bentuknya seperti
sebuah lapangan raksasa yang penuh dengan lautan manusia. Kesan saat
saya melihat lautan manusia yang ada di lapangan raksasa itu, jumlahnya
bermiliyar-milyar manusia. Saya tidak melihat ujung dari milyaran
manusia yang ada di lapangan raksasa tersebut.
Begitu kami
bertiga tiba di sana, ternyata lautan manusia saat itu sedang
mengarahkan pandangan mereka ke atas sebuah panggung yang amat megah, di
mana terdapat mendiang Bapa Suci, Paus Yohanes Paulus II bersama
sejumlah “Calon Paus”, (saya dilarang menyebutkan jumlahnya). Saya
diminta Malaikat turun dari mobil dan diminta naik ke atas panggung di
mana sekumpulan “Calon Paus” dan mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus
II telah menunggu. Begitu saya tiba di atas panggung, saya disambut
(disalami) mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II.
Mendiang
Paus Yohanes Paulus II menggunakan jubah warna merah, yang dihiasi
dengan asesori (semacam pernik-pernik) berwarna keemasan. Kemudian
mendiang Paus berbicara dengan saya lama sekali (menggunakan Bahasa
Tetum yang sudah berasimilasi dengan Bahasa Portugis). Saat mendiang
Bapa Suci berbicara dengan saya, disaksikan oleh para “Calon Paus”, yang
duduk dideretan kursi sebelah barat. Mereka (para Calon Paus)
mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan mendiang Bapa Suci
kepada saya. Isi pembicaraan mendiang Bapa Suci yang disampaikan kepada
saya, tidak akan saya ceritakan di sini. Karena sangat amat rahasia.
Setelah selesai menyampaikan semuanya, saya bersama mendiang Bapa Suci,
Paus Yohanes Paulus II, berdiri dalam satu barisan (bersap, jadi bukan
barisan berbanjar) dengan sejumlah “Calon Paus” yang akan muncul untuk
menggantikan mendiang Paus Yohanes Paulus II.
Termasuk
Bapa Suci Paus Benedictus XVI (Paus sekarang) juga saya lihat terdapat
dalam barisan. Di belakang kami, terdapat lautan manusia. Jumlahnya
seakan-akan bermiliyar-miliyar manusia yang sedang menyaksikan kami.
Lalu mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II memberikan pengumuman
(dalam Bahasa Tetum), dengan berkata begini; “Sekarang semuanya
bersiap-siap, karena Takhta ALLAH akan segera terbuka, dan ALLAH akan
menampakkan diri untuk mengumumkan segala sesuatunya mengenai isu-isu
penting termasuk peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi di masa
depan.
Setelah Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II berkata
demikian, tidak berselang lama, sekitar 5 menit, tiba-tiba langit
bergemuruh. Tempat di mana kami berdiri berguncang sangat hebat. Kami
semua tidak mampu bertahan untuk tetap berdiri. Semua orang yang ada di
tempat itu, termasuk para Calon Paus dan mendiang Bapa Suci, jatuh
tersungkur ke tempat kaki berpijak. Lalu langit terbuka. Muncul Takhta
ALLAH dengan sinar yang amat menyilaukan mata. Kami mencoba melihat ke
atas. Tapi sulit sekali. Lalu terdengarlah suara ALLAH yang menggelegar
bagaikan desau air bah. Setelah beberapa saat berselang, saya mencoba
melihat ke atas, dan saya saat itu saya sempat melihat ALLAH berbicara
sambil mengacungkan Tangan Kanan-Nya.
ALLAH berkotbah
tentang banyak hal. Di antaranya, ALLAH berkotbah tentang evolusi
peradaban manusia di masa depan. Termasuk nasib “Tahkta Suci Kepausan”.
Setelah
selesai berkotbah dari atas Takhta-Nya, ALLAH memberikan kesempatan
kepada mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, untuk mengajukan
pertanyaan. Saat itu mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II
mengajukan ribuan pertanyaan kepada ALLAH. Setiap pertanyaan mendiang
Bapa Suci (yang pernah mengunjungi Indonesia pada Oktober 1989), dijawab
ALLAH dengan cara menampilkan jawaban-Nya secara visualisasi dari atas
langit. Jadi setiap pertanyaan mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus
II, yang membutuhkan visualisasi, ALLAH selalu menampilkannya dari atas
langit. Saat itu kami bisa menyaksikannya layaknya menonton film lewat
layar raksasa.
Saat itu ALLAH menjelaskan banyak isu
penting yang belum saatnya saya singgung melalui naskah ini. Jadi saya
hanya menyampaikan yang pantas dulu untuk diketahui saat ini. Termasuk
di antaranya adalah bencana besar yang akan menimpa planet bumi. Saat
itu ALLAH menampilkan visualisasi badai raksasa dari atas langit,
sambil menjelaskan segala sesuatunya mengenai “badai raksasa” itu
dengan suara-Nya yang menggelegar bagaikan desau air bah. Kami menonton
badai raksasa itu bagai menonton film lewat layar raksasa di atas
langit.
Analog yang mendekati adalah persis Anda menonton
siaran langsung sepak bola, sambil mendengarkan Sang Komentator
menjelaskan jalannya pertandingan. Badai itu amat mengerikan.
Seakan-akan tata surya runtuh. Gunung-gunung saling tabrakan kemudian
hilang lenyap. Jutaan manusia hanyut oleh gelombang air laut yang
mengerikan.
Yang juga amat mengerikan, ALLAH sengaja
menampilkan lautan manusia berjubah putih, (pria dan wanita) yang ikut
hilang lenyap. Visualisasi “badai raksasa” yang ditampilkan ALLAH dari
atas langit Bukit Sion, ribuan kali lebih mengerikan dari badai yang
divisualisasikan dalam film “2012”, arahan Sutradara Roland Emmerich.
Saking
mengerikannya “badai raksasa” yang diperlihatkan ALLAH dari atas
langit Bukit Sion, mendiang Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II (yang
pernah mengunjungi Dili pada Kamis 12 Oktober 1989), mengajukan
pertanyaan; “Kapan badai raksasa itu akan menimpa planet bumi?” Jawaban
ALLAH terhadap pertanyaan mendiang Bapa Suci tersebut di atas, belum
saatnya saya uraikan pada saat ini.
Harap dicatat, saya
tidak mengatakan dunia akan kiamat pada tahun 2012-2013. Tapi saya mau
bilang sesuatu yang amat penting akan terjadi pada saat-saat mendatang
jika ALLAh tidak merubah Pikiran-Nya. Poinnya adalah bahwa “2012-2013
adalah sebuah misteri besar”. Dan misteri besar itu hanya dapat
diungkap dengan menggunakan “BAHASA INDONESIA". Maka Bangsa Timor Leste
sebaiknya jangan sampai mengabaikan BAHASA INDONESIA. Karena yang
namanya bahasa, bukanlah ciptaan manusia. Bahasa itu karya ROH KUDUS.
Maka mendeskritkan BAHASA MELAYU-INDONESIA, sama saja dengan
mendeskritkan karya ROH KUDUS.
Dalam sejumlah naskah saya
yang telah beredar antara 2005 – 2009 (ada lebih dari 30 naskah), saya
selalu menyampaikan pesan kepada Pemimpin Negara Timor Leste, untuk
melakukan amandemen Konstitusi Timor Leste, guna menaikkan status Bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi, agar kedudukan Bahasa
Indonesia di dalam Konstitusi Timor Leste, sama dan paralel dengan
Bahasa Portugis. Tapi nampaknya proposal saya sama sekali diabaikan.
Kisah
misteri yang saya alami selama 3 hari (18, 19 dan 20 Februari 1994),
di Bukit Sion, lereng Gunung Ramelau Timor Leste, di mana ALLAH (BAPA)
berbicara dari atas langit, sambil mengacungkan “tangan kanan-Nya”
inilah, yang saya namakan; MPS (Misteri Penampakan Sion). Yang saya maksudkan ALLAH (BAPA) menampakkan diri, bukan berarti ALLAH (BAPA) memperlihatkan wajah-Nya kepadaku.
Wajah
BAPA tidak mungkin terlihat dalam wujud apapun. Yang saya alami pada
Februari 1994 adalah saya mendengar sebuah suara yang menggelegar
bagaikan desau air bah dan pada saat yang bersamaan saya melihat sebuah
tangan raksasa yang teracung dari balik Takhta yang sangat tinggi di
atas Langit Bukit Sion. Karena itulah saya merangkainya menjadi sebuah
(konstruksi) kalimat berbunyi; “ALLAH (BAPA) berbicara dari atas
Takhta-Nya dengan suara-Nya yang menggelegar bagaikan desau air bah,
sambil mengacungkan Tangan Kanan-Nya”.
Lanjutan mengenai
kisah MPS (Misteri Penampakan Sion) akan saya teruskan pada kesempatan
lain. Di antaranya, saat seorang Pastor (berwajah bule bermata biru)
membawa saya memeriksa para “arwah” yang gugur selama perang
berlangsung di Timor Leste, di mana para “arwah” tersebut belum bisa
memasuki Kerajaan Surga, karena mereka belum memiliki nama dalam Kitab
Kehidupan Abadi.
Akhirnya saya tiba kembali di kota
Atsabe pada tengah malam (Minggu, 20 Februari 1994), tanpa anjing gaib
kiriman Santo Yoseph. Kemanakah anjing gaib tersebut? Hanya ALLAH yang
tahu (???).
BERSAMBUNG
Komentar Singkat
Tidak
semua peristiwa dalam hidup ini bisa dijangkau dengan logika manusia
yang fana dan terbatas. Termasuk masalah IMAN (kepercayaan). Jika ada
IMAN yang bisa dibuktikan dengan logika, maka itu bukan lagi IMAN
namanya.