Comedi ala
Medico Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali.
“a drop of
ink can move a million of people to think”
(unknown)
Kuliah di Fakultas Kedokteran itu banyak suka dukanya. Tapi menurutku
kayaknya lebih banyak dukanya ketimbang sukanya. Tapi tergantung juga kepada
mahasiswanya sendiri. Harus memiliki kiat-kiat sendiri untuk menyasati hal-hal
yang menyebalkan agar dapat menikmati budaya kuliah di Fakultas Kedokteran, di
Universitas manapun di belahan bumi ini.
Setelah saya renungkan baik-baik, saya tiba pada satu kesimpulan
bahwa, sebenarnya pekerjaan seorang dokter, tidak jauh beda dengan seorang
COMEDIAN (PELAWAK). Kalau lawakan seorang COMEDIAN lucu, maka dia akan mampu
membuat penonton tertawa. Tapi jika lawakannya tidak lucu, maka sudah pasti
penonton mungkin bukan hanya tidak akan tertawa, tapi juga malah boring
(membosankan).
Demikian juga seorang dokter. Jika mampu menyembuhkan seorang pasien, maka pasien dan keluarganya akan tertawa karena merasa senang dan bahagia bisa sembuh dan terbebas dari penyakit, walau bukan berarti terbebas dari kematian. Karena sehebat apapun seorang dokter, toh pada akhirnya, akan tiba saatnya pasien yang hari ini sembuh, mungkin 2 minggu atau 2 bulan atau bahkan 20 atau 30 tahun mendatang akan meninggal juga.
Demikian juga seorang dokter. Jika mampu menyembuhkan seorang pasien, maka pasien dan keluarganya akan tertawa karena merasa senang dan bahagia bisa sembuh dan terbebas dari penyakit, walau bukan berarti terbebas dari kematian. Karena sehebat apapun seorang dokter, toh pada akhirnya, akan tiba saatnya pasien yang hari ini sembuh, mungkin 2 minggu atau 2 bulan atau bahkan 20 atau 30 tahun mendatang akan meninggal juga.
Dalam Bahasa Portugis, sebutan DOKTER, biasa juga dikenal dengan
istilah: “MEDICO” (dilafalkan: meediku, dengan memberikan penekanan
pada suku kata: “mee”). Sama seperti Anda melafalkan frasa (kata); AMERIKA
dalam logat bahasa Inggris (Ameerika).
Nah, bukankah MEDICO (DOKTER) itu sama dengan COMEDI (PELAWK). Dua
kata yang sama-sama terdiri dari 6 huruf yang jenis hurufnya sama persis. Makanya
saya katakana; “Seorang MEDICO tak jauh beda dengan seorang COMEDI(AN).
Saya meninggalkan Fakultas Teknik UNIBRAW (Universitas Brawijaya) di Malang Jawa Timur (saya memasuki UNIBRAW untuk Jenjang S1 melalui jalur SIPENMARU = Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru) dan pindah ke Bali serta berhasil diterima di FK UNUD (Fakultas Kedokteran Universitas Udayana)
melalui jalur yang sangat aneh. Bukan jalur SIPENMARU (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru). Juga bukan jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Bakat). Juga bukan
melalui jalur Pemilihan Bibit Unggul Daerah. Pokoknya melalui jalur aneh yang belum
saatnya dibahas.
Dan lebih aneh lagi, Dekan FK UNUD saat itu, memutuskan untuk menerima
saya di FK UNUD, tanpa pernah bertemu saya sebelumnya. Maaf terbalik.
Seharusnya (lebih sopan) saya menulis begini; “Tanpa saya temui Beliau (Dekan
FK UNUD) sebelumnya”. Pokoknya jalur PINTU saya memasuki FK UNUD, anh dan
ajaib. Suatu saat akan saya ceritakan dan tempat ceritaku dalam konteks sebagai
satu KESAKSIAN IMAN, di FB RAMA CRISTO. Tapi bukan saat ini dan di sini.
Yang akan saya kisahkan pada saat ini adalah satu peristiwa lucu yang
terjadi pada suatu hari, saat mengikuti praktikum ANATOMI. Dulu pada jaman saya, mata kuliah ANATOMY,
bebannya adalah 12 SKS yang dibagi menjadi; ANATOMY I = 6 SKS. ANATOMY II = 6
SKS. Termasuk mata kuliah Mikrobiologi dan Fisiologi juga masing-masing 6 SKS.
Tidak tahu apakah saat ini hukumnya masih sama? Dengan beban SKS yang demikian
besar (6 SKS), maka jika seorang mahasiswa tidak lulus ANATOMY, pasti IP-nya anjlok nggak karu-karuan. Dan akhirnya
tidak mampu melompati TEMBOK TINGGI,
yang memisahkan Semster V dan Semester VI, lalu akhirnya DO (Drop Out).
Dulu banyak sekali mahasiswa FK UNUD yang berguguran gara-gara TEMBOK
TINGGI tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya, saya hendak berkata; “Kurikulum
FK UNUD UNUD jaman dulu, sangat feodal.
Untuk memperoleh nilai C saja, susahnya minta ampun.
Pada suatu hari, ketika praktikum ANATOMY,
saya masuk terlambat. Bahkan sangat-sangat terlambat karena alasan tertentu
yang tidak perlu saya ceritakan di sini (maluu). Saat itu saya tinggal di Jl.
Sidakarya no. 15 Denpasar Selatan. Bersama sejumlah teman saya asal Timor Leste
(sama-sama berstatus mahasiswa), kami menyewa sebuah rumah yang bagus untuk
ukuran mahasiswa. Salah satu Anggota Parlamen Timor Leste, yang pernah
mengunjungi rumah kami saat itu adalah Almarhum Bapak JACOB FERNANDES (yang
meninggal, 2 bulan setelah dilantik menjadi Anggota Parlamen Timor Leste tahun
2007 (Beliau meninggal 22 September 2007).
Salah satu teman kos saya (Ir. JOAQUIM DA COSTA FREITAS), adalah ASESSOR
PERDANA MENTERI XANANA GUSMAO. Jika Anda penasaran ingin melihat bagaimana tampangnya,
tinggal buka saja artikel; “ANTARA BALI & BALIBAR” (seri: 2) dan lihatlah
temanku tersebut, yang duduk persis di belakang Bapak Xanana Gusmao yang dalam
foto yang saya lampirkan di sana, terlihat Pak Xanana sedang “keringatan”
karena mungkin sangat kepanasan.
Hari itu, begitu saya tiba di Kampus, praktikum ANATOMY sudah lama dimulai. Saat saya tiba di pintu Laboratorium ANATOMY, dari luar terdengar suara “Dokter M” (orangnya rada galak), sedang
menerangkan materi praktikum ANATOMY.
Tapi Dokter M yang saya maksudkan di sini bukan bokpanya salah satu teman
angkatanku, dr. Thirta (saat ini telah menyandang status sebagai Ahli THT (Telinga Hidung & Tenggorokan). Karena Ayah temanku ini juga Dosen ANATOMY. Tapi Beliau
ini, yang juga dipanggil Dokter M, pembawaannya cool. Gak pernah marah. Suka
humor. Jika Anda memiliki account FB, klik saja: “MANGKU KARMAYA”. Maka Anda
akan masuk ke account Beliau”. Orangnya sangat baik dan juga sangat kocak.
Kalau lagi member kuliah, mahasiswa sangat senang, karena bawaannya yang penuh
humor.
Karena saat itu saya sangat terlambat, maka setelah tiba di depan
pintu dan begitu mendengar suara Dokter M yang rada galak, hati saya mulai dag
dig dug tidak karuan. Saat itu saya ragu. “Masuk gak ya?” Tadinya saya sangat
ragu untuk masuk. Maunya balik saja. Tapi mengingat saya akhirnya saya nekat
saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Maka saya memberanikan diri untuk
masuk.
Bagitu saya masuk, saya menjadi pusat perhatian teman-teman dan juga
dokter M. Salah satu temanku, yang saat ini berhasil menjadi seorang Dokter Spesialis Saraf (NEUROLOG),
yaitu; dr. Acmad Ikhsan,Sp.S, menyodorkan
bangku kecil yang masih kosong di sampaingnya kepada saya. Begitu bangku kecil
itu saya duduki, langsung terdengar suara “Dokter
M”.
“Kamu dari mana, tanya
Beliau dengan mata agak melotot?” Tanpa pikir panjang saya langsung
menjawab; “Saya dari Timor-Timur dok?”
Jawabanku malah membuat teman-temanku tertawa. Saya heran, apa yang lucu dari
jawaban saya. Rupanya saya salah faham. Yang dimaksud Dokter M bukan masalah
asal-usul yang berbau primordialisme. Dokter M, dengan suara mulai meninggi,
kembali bertanya; “Yang saya maksud bukan itu. Kamu habis dari mana, kok jam segini baru
nongol. Mengapa kamu terlambat?”
Saya diam sebentar, apa harus jujur mengaku bahwa saya baru saja mengalami bla...bla..bla..? Tapi
akhirnya saya berubah pikiran. Dari pada menanggung RAMA (Rasa Malu), saya menjawab; “Saya terlambat masuk karena saya
bangun terlambat dok? Dokter M kembali bertanya; “Mengapa kamu bangun terlambat?”
Saya menjawab; “Karena semalam saya tidur terlambat”. Dokter
M terus mengejar saya dengan pertanyaan; “Kenapa
tidur terlambat?” Saya menjawab; “Karena belajar sampai dini hari dok”. Dokter
M kembali bertanya; “Apa yang kamu pelajari?”. Saya menjawab; “Bahan praktikum ANATOMY dok”.
Kembali saya ditanya Dokter M; “Bahan praktikum apa yang kamu pelajari?” Tanpa
berpikir panjang saya menjawab; “Tulang belulang manusia dok”.
Begitu mendengar jawaban saya, Dokter M langsung membuka peti jenazah.
Dan dari dalam peti, Dokter M mengeluarkan setumpukan tulang-belulang manusia
dan diletakkan di atas meja yang ada di depan. Kemudian Dokter M meminta saya
maju ke depan untuk mengidentifikasi, tulang-belulang apa sajakah yang
diletakkan Beliau dengan secara menumpuk di atas meja?
Saya berdiri dan mencoba melangkah maju, tapi rasanya tulang-tulang saya
mau copot dari persendiannya, mungkin karena cemas tidak bisa mengidentifikasi
tulang-tulang yang ditumpuk di atas meja, maka saya sudah pasti akan jadi
bulan-bulanan Dokter M.
Setelah tiba di depan, begitu saya amat-amati tulang-belulang
tersebut, saya merasa kesulitan untuk mengidentifikasi tulang-belulang
tersebut. Maklum, hari itu untuk pertama kalinya dalam hidup, saya melihat
tulang manusia. Apalagi yang ditumpuk di atas meja, bukan tulang-tulang panjang
seperti os tibia, os ulna, os femur, os
humerus, os radius, os ulna, atau tulang-tulang seperti: os scapula, os
clavicula dan seterusnya (maaf saya tidak bisa menerjemahkan nama
tulang-tulang tersebut ke dalam Bahasa Indonesia karena saya merasa kesulitan.
Jadi terpaksa saya menggunakan Bahasa Latin). Tapi yang ditumpuk di sana adalah
tulang-tulang kecil, yang di kemudian hari saya kenal sebagai tulang-tulang CARPALIS (ruas tulang tapak tangan dan
jari tangan). Pantas saja saya tidak bisa mengidentifikasi.
Karena saya hanya membolak-balik tulang-tulang tersebut, sambil berpura-pura
berpikir keras, dan mungkin hari itu saya lagi apes, malah yang terjadi adalah
AIR MATA saya terus mengalir menganak sungai. Dokter M mulai bersuara; “Katanya
tadi malam belajar sampai dini hari. Sampai tidur terlambat. Kemudian bangun
terlambat dan akibatnya masuk terlambat. Tapi kok ditanya tulang-tulang gituan
aja gak tahu? Malah MENANGIS? Bikin malu orang Tim-Tim saja”.
Padahal AIR MATAKU mengalir keluar bukan karena saya tidak bisa
menjawab pertanyaan Dokter M, tapi karena sengatan FORMALIN yang begitu
menyengat (maklum pertama kali masuk Laboratorium Anatomy), maka saya mencoba
membela diri dan berkata. “Tulang-tulang ini terlalu kecil dok. Jadi
saya tidak bisa menjawab. Karena yang semalam saya pelajari adalah tulang-tulang
panjang. Lagian kalau tulang-tulang kecil ini ditanyakan kepada teman-temanku
yang tidak terlambat, belum tentu mereka juga bisa menjawab. Kalau Dokter gak
percaya coba saja”.
Dokter M seakan-akan merasa tertantang. Beliau berkata; “Kamu
sudah tidak bisa menjawab, ngeles lagi. Kamu mau bukti. Saya akan buktikan
bahwa teman-temanmu bisa menjawab karena tadi saya sudah menjelaskan semuanya
kepada mereka”. Sambil berkata seperti itu, Dokter M meminta seorang
temanku dengan inisial “JU” untuk maju.
Tadinya saya merasa dag dig dug, kalau-kalau yang akan dipanggil ke
depan kelas adalah teman-teman yang menjadi bintang di angkatan saya, antara
lain seperti; “dr. Ratna Saraswati,Sp.PD dr.
Darya,Sp.PD dr. Sumandi,Sp.PD (ketiganya saat ini sudah menjadi Spesialis Penyakit
Dalam), atau dr. Ida Bagus Putu Alit,Sp.F
(saat ini sudah menjadi Ahli Forensik RSUP Sanglah). Tapi yang dipanggil maju
ke depan adalah, malah temanku, “JU”
yang kemampuannya denganku hanya BETIS (beda-beda tipis). Orang bilang; SEBELAS
– DUA BELAS lah.
Dalam hati saya bersorak. Pasti “JU”
sulit mengidentifikasi tulang-tulang tersebut. Ternyata dugaan saya benar. Temanku “JU” merasa kesulitan untuk
mengidentifikasi tulang-tulang tersebut. Saat itu, walau AIR MATA saya terus
mengalir bagaikan ANAK SUNGAI, namun saya merasa di atas angin. Saya pura-pura
menatap ke arah lain. Sayu berusaha mencari arah yang bisa membuat saya merasa
nyaman untuk tersenyum. Akhirnya saya memilih menatap ke atas plafon sambil
tersenyum, walau AIR MATAKU terus mengalir. Saya benar-benar berusaha untuk
tidak melakukan “eye contact” dengan
Dokter M.
Bersamaan dengan saya tersenyum simpul; dari dahi temanku “JU” mulai
terlihat butiran-butiran bening (keringat dingin), Dokter M mulai bersuara; “Aahh
sudah.... sudah... sudahh.... duduk.. duduk..!!! Kalian semua sama saja. Di
luar sana bergaya, mengaku mahasiswa Kedokteran, tapi otak kalian isinya “T”. Sambil kembali ke tempat duduk, saya
memanfaatkan momen itu, sambil tersenyum saya bersuara; “Tadi sudah saya bilang. Dokter
masih gak percaya. Sekarang terbukti khan”.
Begitu saya dan “JU” kembali duduk, praktikum hari itu pun berakhir. Dokter
M bertanya; “Bagaimana, apa masih ada yang perlu ditanyakan berkaitan dengan
praktikum hari ini? Dr. M mengajukan pertanyaan itu sambil pandangannya
menyapu isi kelas tapi tanpa mau melakukan eye contact dengan saya. Padahal
saya sedang pasang aksi menatap Beliau, kalau ada eye contact, saya maunya
tersenyum kepada dr. M. Tapi Beliau menghindar tidak mau memandang wajah saya. Mungkin Beliau merasa eneq.
Pandanganku menyapu isi kelas. Karena tidak ada yang bertanya, maka
tiba-tiba saja ada pertanyaan aneh terlintas di benakku. Saya sendiri merasa
bahwa pertanyaan tersebut kurang lazim. Tapi saya nekat saja mengacungkan
TANGAN KANANKU ke atas, dengan FORMASI, 4 jari tertekuk dan hanya JARI TELUNJUK
teracung tegak lurus ke atas.
Begitu melihat TANGAN KANAN saya teracung ke atas, Dokter M menoleh ke
arahku dan bertanya; “Ya BENYAMIN (padahal NAMAKU bukan dilafalkan dengan bunyi: BENYAMIN, tapi BENJAMIN), mau
tanya apa?” Saya bersuara; “Maaf
Dok, pertanyaan saya mungkin kurang lazim. Mengapa satu tangan manusia, jumlah
JARI-nya harus LIMA? Mengapa TUHAN tidak menciptakan manusia dengan JARI TANGAN
yang jumlahnya EMPAT? Atau sekalian jumlahnya ENAM? Khan bisa digunakan untuk
melakukan banyak hal?”
Mendengar pertanyaan saya, Dokter M bukannya menjawab, tapi malah
melotot dan berkata; “Selama saya menjadi DOSEN ANATOMY, baru
kali ini saya mendapat PERTANYAAN ANEH dari MAHASISWA KEDOKTERAN PALING ANEH
yang pernah saya temui dalam hidup saya.”
Dokter M terlihat tersenyum, sambil melihat ke arah saya Beliau
berujar; “BENYAMIN, kamu mau balas dendam ya? Gara-gara tadi saya suruh maju ke
depan untuk mengidentifikasi tulang-tulang dan kamu tidak bisa mengidentifikasi
tulang-tulang tadi, kemudian menangis dan sekarang BERULAH? Buat pertanyaan kok
aneh-aneh.”
Saat itu, karena Dokter M (dan mungkin juga teman-temanku) mengira
saya MENANGIS karena tidak bisa menjawab pertanyaan Dokter M, maka saya
berusaha membela diri, “Tadi saya MENANGIS bukan karena saya tidak
bisa menjawab pertanyaan Dokter. Tapi karena MATA saya tidak tahan dengan sengatan
FORMALIN”. Karena memang bau
FORMALIN saat itu menyengat sekali. Apalagi saya belum terbiasa dengan sengatan
FORMALIN. Tapi dokter M masih saja tidak percaya dan berkata; “BENYAMIN...
BENYAMIN... ada saja alasanmu...!!!”
Akhirnya pertanyaan itu dibiarkan menggantung, tidak dijawab Dokter M.
Karena kebetulan juga sudah waktunya pulang. Maka begitu keluar dari ruang
Laboratorium ANATOMY, saat melintas di depan ruangan Prof. ELIAS SUKARDI, yang
saat itu dalam keadaan terbuka, saya menoleh ke dalam, Prof. ELIAS sedang
santai membaca koran. Maka saya memutuskan untuk masuk ke dalam dengan tujuan
mau mengajukan pertanyaan yang saya sampaikan kepada Dokter M di Laboratorium
ANATOMY.
Saya mengetuk pintu sambil mengucapkan “selamat siang”. Prof. ELIAS
mempersilahkan saya masuk. Kemudian Beliau mempersilahkan saya duduk di sebuah
KURSI yang ada depan Beliau. Di antara kami dipisahkan oleh meja kerja Prof.
ELIAS. Saya kemudian menyampaikan maksud saya menemui Beliau.
Kemudian Prof. ELIAS berkata; “Ya, silahkan. Adik mau bertanya tentang
apa?” Saya kembali mengajukan pertanyaan dengan formasi kalimat yang
sama persis dengan yang saya sampaikan kepada Dokter M. Begitu mendengar
pertanyaan saya, Prof. ELIAS langsung meletakkan koran yang masih ada di
tangannya, dan merubah posisi duduknya, kemudian menatap ke arah saya.
Beliau diam beberapa detik sambil menatap saya kemudian berkata; “Nama
adik siapa?” “BENJAMIN”, jawab saya. Kemudian Prof. ELIAS berkata; “Selama
saya menjadi DOSEN ANATOMY dan menyandang status sebagai Ahli ANATOMY, baru
pertama kalinya saya mendapatkan pertanyaan seperti ini dari seorang mahasiswa
Kedokteran.
Kemudian Prof. ELIS meneruskan; “Begini BENYAMIN (saya lalu koreksi, maaf
dok, nama saya bukan BENYAMIN, tapi BENJAMIN, Beliau lalu memperbaiki
pelafalannya dan meneruskan), pertanyaanmu rada terdengar aneh oleh kebanyakan
orang. Karena pertanyaanmu bukan pertanyaan lazim yang harus diajukan oleh
seorang mahasiswa Kedokteran, jika ditinjau dari MANFAAT pertanyaan itu untuk
kepentingan seorang dokter. Tapi karena kamu sudah bertanya kepada saya,
maka saya harus memberi jawaban. Inilah yang namanya proses belajar-mengajar.
Jadi sebagai mahasiswa, kamu BERHAK bertanya apa saja, termasuk pertanyaan yang
paling ekstrim sekalipun. Dan saya sebagai Pembimbing kamu, BERKEWAJIBAN
memberikan bimbingan dalam taraf-taraf tertentu”.
Saya tetap diam sambil pasang expresi serius mendengarkan penjelasan
Prof. ELIAS. Kemudian Beliau meneruskan; “BENYAMIN (maaf BENAJMIN, Beliau mencoba
memperbaiki walau terdengar rada blepotan), untuk memahami segala sesuatu dalam
hidup ini, jadi bukan hanya persoalan ANATOMY MANUSIA, kamu harus berpegang
pada 3 elemen penting, yaitu; KONSEP, AZAS & FAKTA. Semua SUBSTANSI MATERI
yang kamu INDERAI, yaitu kamu lihat, kamu dengar, kamu pegang/raba, kamu cium
(baui) dan kamu cicipi, ada yang bisa dijelaskan berdasarkan KONSEP dan AZAS
dari SUBSTANSI MATERI tersebut. Tapi ada yang tidak bisa kita jelaskan lebih
jauh, kecuali kita hanya bisa menerimanya sebagai; FAKTA”.
Saya masih terus memasang mimik serius mendengarkan penjelasan Beliau.
Kemudian Prof ELIAS sambil tetap memandang ke arah saya meneruskan; “Misalnya
kalau kita berbicara tentang isu MOBIL, maka BENJAMIN (kali ini tidak Beliau
tidak lagi salah melafalkan nama saya) harus memiliki KONSEP, AZAS dan FAKTA
mengenai MOBIL”.
Tiba-tiba Prof. ELIAS bertanya; “BENJAMIN, menurutmu apa itu MOBIL?”
Tanpa pikir panjang, saya menjawab; “MOBIL adalah salah satu sarana
transportasi”. Prof. ELIAS memuji’ “Bagus... Jadi kamu mendefenisikan MOBIL
berdasarkan NILAI GUNA yang dimiliki MOBIL.
Lalu Beliau meneruskan; “Kalau BENJAMIN memiliki defenisi tentang
MOBIL berdasarkan NILAI GUNA, maka pertanyaan saya adalah; Apakah BENJAMIN akan
tetap berpegang pada defenisi tersebut, kalau saya bertanya; Apa MOBIL yang
dari segi body masih bagus, tapi tidak bisa digunakan sebagai sarana
transportasi, apakah kamu masih akan tetap mengatakan itu MOBIL?” Tanpa
berpikir panjang, saya langsung menjawab;
“YA”.
Mendengar jawaban saya, Prof. ELIAS berkata; “Berarti defenisimu tentang MOBIL,
sebenarnya bukan berdasarkan NILAI GUNA, melainkan berdasarkan BENTUKNYA. Maka
pertanyaan saya adalah; “Apa KONSEP kamu mengenai sebuah MOBIL? Tanpa
berpikir dua kali, saya langsung menjawab; “KONSEP saya tentang MOBIL adalah kendaraan RODA EMPAT”.
Mendengar jawaban saya, Prof. Elias tersenyum simpul. Melihat Beliau
tersenyum simpul, saya bergumam dalam hati, “Ini pasti ada yang tidak beres
dengan jawaban saya. Dalam hati saya mulai menyesal. Ngapain juga tadi nggak
langsung pulang aja. Kenapa harus masuk ke sini cari penyakit”.
Prof. Elias kemudian meneruskan; “Kalau KONSEP BENJAMIN mengenai MOBIL adalah:
kendaraan RODA EMPAT, apakah GEROBK DORONG yang RODANYA EMPAT, juga disebut
MOBIL?”
Mendapatkan pertanyaan Beliau yang terakhir, tiba-tiba saja ruangan Beliau yang tadinya terasa sejuk, mulai berubah. Saya mulai merasa gerah. Ingin rasanya cepat-cepat berdiri keluar meninggalkan ruangan itu. Tapi gimana cara ngomongnya ke Prof. Elias kalau saat itu saya maunya pulang saja.
Saya
merasa hari itu adalah hari paling apes dalam hidupku. Setelah mendapat stigmatisasi dari Dokter M sebagai MAHASISWA
KEDOKTERAN PALING ANEH, gara-gara mengajukan pertanyaan; Mengapa tangan manusia jarinya harus LIMA? Sekarang ditambah lagi
dengan jadi bahan tertawaan Prof. ELIAS, gara-gara KONSEPKU mengenai MOBIL
adalah; KENDARAAN RODA EMPAT. Lengkap sudah penderitaanku.
Melihat saya hanya diam saja dan mulai gelisah, Prof. ELIAS berkata; “Jadi
mulai sekarang, membiasakan diri memiliki cara berpikir yang baik dan
sistimatis. Karena hari ini contoh yang saya tampilkan untuk menjawab pertanyaanmu
adalah MOBIL, maka BENJAMIN harus berpegang pada 3 elemen tadi, yaitu; Apa
KONSEP tentang sebuah MOBIL? Apa AZAS tentang sebuah MOBIL? Dan apa FAKTA
tentang sebuah MOBIL. Jadi kalau BENJAMIN ditanya orang; Apa itu KONSEP
BENJAMIN tentang MANUSIA? Jangan BENJAMIN bilang; MANUSIA adalah mahluk BERKAKI
DUA. Kalau begitu, AYAM juga adalah MANUSIA, karena FAKTANYA, kaki AYAM juga
berjumlah DUA?”
Sambil Prof. ELIAS menjelaskan, saya manggut-manggut berlagak
mengerti. Kemudian Prof. ELIAS meneruskan; “Kita kembali kepada pertanyaanmu; Mengapa
satu tangan MANUSIA jumlah JARI-nya harus LIMA? Bukan EMPAT atau ENAM? Tentang
pertanyaanmu ini, sebagai manusia biasa, kita tidak bisa menjelaskannya lebih
jauh. Tapi kita hanya bisa menerima ini sebagai FAKTA”.
Kisah di atas adalah salah satu
kenangan saya dengan Mendiang Prof. Elias Sukardi (salah satu Anggota Perkumpulan
Ahli Anatomy Belanda). Ketika saya datang dari Dili Timor Leste untuk mengikuti
tes masuk Program Pasca Sarjana UNUD pertengahan Mei 2011, saya masih sempat
melihat Prof. Elias bersama Dokter M berjalan memasuki pintu gerbang kampus FK UNUD (Jl. PB Sudirman Denpasar Bali).
Tapi hanya berselang 3 bulan, pada saat kembali dari Dili 4 September 2011
untuk melanjutkan kuliahku di Pasca Sarjana UNUD (kebetulan saya lulus tes,
mungkin gara-gara komputernya salah program, kebetulan juga tes masuk Pasca Sarjana UNUD menggunakan pensil 2b), saya menemukan koran Bali Post
yang memberitakan Prof. Elias telah berpulang ke hadapan Sang Khalik pada 1 September 2011.
Prof. Elias adalah salah satu manusia besar yang pernah dimiliki FK UNUD. Salah satu mata kuliah di Fakultas Kedokteran yang menjadi momok bagi mahasiswa Kedokteran adalah NEURO ANATOMI. Prof. Elias menulis banyak buku tentang ANATOMY, khususnya tentang NEURO ANATOMY. Jika Anda yang membaca artikel ini seorang mahasiswa Kedokteran dan berjalan-jalan ke toko buku, coba carilah buku NEURO ANATOMY, karangan Prof. Elias Sukardi. Selamat jalan Professor berotak brilian. Amal bhaktimu akan selalu kami kenang sepanjang hayat. RIP...!!!
Prof. Elias adalah salah satu manusia besar yang pernah dimiliki FK UNUD. Salah satu mata kuliah di Fakultas Kedokteran yang menjadi momok bagi mahasiswa Kedokteran adalah NEURO ANATOMI. Prof. Elias menulis banyak buku tentang ANATOMY, khususnya tentang NEURO ANATOMY. Jika Anda yang membaca artikel ini seorang mahasiswa Kedokteran dan berjalan-jalan ke toko buku, coba carilah buku NEURO ANATOMY, karangan Prof. Elias Sukardi. Selamat jalan Professor berotak brilian. Amal bhaktimu akan selalu kami kenang sepanjang hayat. RIP...!!!
Saya masih memiliki sejumlah
pengalaman tak terlupakan dengan Prof. Elias. Salah satunya adalah ketika saya
bertanya kepada Beliau dengan pertanyaan; “Apakah jumlah ruas tulang belakang
manusia yang jumlahnya 33, ada kaitannya dengan USIA PUTERA ALLAH (33 tahun) ketika
di-SALIB-kan? Kapan-kapan jika ada waktu saya akan kembali berkisah.
Saya akan berkisah mengenai "MISTERI BILANGAN 33", ini yang dikaitkan dengan USIA TUHAN YESUS saat di-SALIB-kan, ditambah dengan MISTERI AIR SUCI dari FATIMA PORTUGAL, dalam BOTOL dengan BILANGAN 33 dan RUAS TULANG BELAKANG manusia yang berjumlah 33. Saat masih mengemban tugas sebagai seorang dosen (ANATOMY), saya pernah mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa 7 kelas paralel yang jumlahnya hampir 500 orang mahasiswa, yang di atas 99,99% beragama KATOLIK ROMA; "Berapa jumlah ruas tulang belakang manusia?" Karena tidak ada yang bisa menjawab, saya konversikan pertanyaan ini ke dalam varian pertanyaan lain dengan harapan mahasiswa bisa menjawabnya; "Berapa USIA TUHAN YESUS saat di-SALIB-kan?"
Ternyata apa yang terjadi? Dari mahasiswa 7 kelas itu (hampir 500 orang), tidak ada satu pun mahasiswa yang tahu; "Berapa usia Putera ALLAH saat di-SALIB-kan?" Kenyataan ini benar-benar memprihatinkan, walau tidak bisa dikatakan memalukan. Apalagi terjadi di sebuah negara yang konon, populasi penduduknya, di atas 99% mengaku beragama: KATOLIK ROMA. Ini harus terjadi karena salah siapa? Orang tua? Catequista (Guru Agama)? Guru pendidikan formal? Para Dosen? Atau Para Pastor?
Saya akan berkisah mengenai "MISTERI BILANGAN 33", ini yang dikaitkan dengan USIA TUHAN YESUS saat di-SALIB-kan, ditambah dengan MISTERI AIR SUCI dari FATIMA PORTUGAL, dalam BOTOL dengan BILANGAN 33 dan RUAS TULANG BELAKANG manusia yang berjumlah 33. Saat masih mengemban tugas sebagai seorang dosen (ANATOMY), saya pernah mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa 7 kelas paralel yang jumlahnya hampir 500 orang mahasiswa, yang di atas 99,99% beragama KATOLIK ROMA; "Berapa jumlah ruas tulang belakang manusia?" Karena tidak ada yang bisa menjawab, saya konversikan pertanyaan ini ke dalam varian pertanyaan lain dengan harapan mahasiswa bisa menjawabnya; "Berapa USIA TUHAN YESUS saat di-SALIB-kan?"
Ternyata apa yang terjadi? Dari mahasiswa 7 kelas itu (hampir 500 orang), tidak ada satu pun mahasiswa yang tahu; "Berapa usia Putera ALLAH saat di-SALIB-kan?" Kenyataan ini benar-benar memprihatinkan, walau tidak bisa dikatakan memalukan. Apalagi terjadi di sebuah negara yang konon, populasi penduduknya, di atas 99% mengaku beragama: KATOLIK ROMA. Ini harus terjadi karena salah siapa? Orang tua? Catequista (Guru Agama)? Guru pendidikan formal? Para Dosen? Atau Para Pastor?
Mungkin muncul pertanyaan di benak
Anda. Mengapa saya harus menuliskan namaku BENJAMIN dengan huruf kapital?
Apakah saya MANUSIA NARCIS? Jawabannya sederhana saja. Ini ada kaitannya dengan
peristiwa aneh yang dialami Parlamen Nasional Timor Leste.
Pada tahun 2007, ketika Parlamen Nasional
akan memulai masa tugas mereka, salah satu Anggota Parlamen Nasional dari
Partai FRETILIN, bernama YAKUB (JACOB) meninggal. Pada tahun 2012 ini,
lagi-lagi terjadi hal yang sama. Pada saat Parlamen Nasional yang baru, akan
memulai menjalani amanah mereka, kembali salah satu Anggota Parlamen dari PD
(Partai Demokrat), bernama; YAKUB (JACOB) meninggal hanya beberapa jam setelah
Parlamen Nasional Timor Leste dilantik.
Mengapa kedua Anggota Parlamen
Nasional yang meninggal, harus sama-sama bernama: YAKUB (JACOB? Mengapa bukan
NAMA yang lain? Mengapa harus meninggal pada saat Parlamen Nasional akan
memulai mengemban amanah mereka? Mengapa tidak meninggal di saat Parlamen mengakhiri
masa tugas mereka? Mungkinkah dua peristiwa ini terjadi karena berlakunya teori
co-insidensi?”
Bukankah setiap hal dalam hidup ini, terjadi karena ada
alasannya? Lalu apa hubungannya dengan NAMA ku: BENJAMIN? Belum saatnya
membahas isu ini. Tapi akan saya bahas pada kesempatan mendatang, melalui artikel
yang berbeda.
Sementara ini, berkaitan dengan isu
ini, jika Anda memiliki waktu yang cukup, silahkan membaca artikel yang
berkaitan dengan isu kematian dua Anggota Parlamen Nasional Timor Leste dan
hubungannya dengan sejumlah isu dalam Konstitusi Timor Leste yang menurutku; “BERMASALAH”,
yang telah secara singkat saya singgung dan telah diterbitkan di situs ini. Menurutku;
melakukan amandamen Konstitusi Timor Leste, HUKUMNYA WAJIB.
Tujuan amandamen bukan untuk mencegah
agar pada saat-saat mendatang tidak boleh lagi ada Anggota Parlamen Nasional
yang meninggal (karena toh semua orang, cepat atau lambat pasti akan
meninggal), melainkan saya tertarik untuk membahas isu ini karena saya
menemukan SEBUAH PESAN RAHASIA di balik kematian kedua tokoh, yang waktunya (momennya)
sangat tidak lazim.
“Mengapa kedua Anggota Parlamen Nasional
dengan NAMA yang sama (YAKUB) harus meninggal tepat pada saat Parlamen Nasional
akan memulai masa tugasnya?” Apakah sekadar karena faktor kebetulan? Hanya orang-orang
yang malas berpikir yang menjawabnya: YA.
Terima-kasih banyak karena Anda telah meluangkan waktu dan energi Anda untuk membaca artikel ini. Semoga ALLAH memberkati Anda dan Keluarga.
Terima-kasih banyak karena Anda telah meluangkan waktu dan energi Anda untuk membaca artikel ini. Semoga ALLAH memberkati Anda dan Keluarga.
“Bangsa yang bijak adalah bangsa yang
mau belajar dari sejarah.
Bukan hanya belajar tentang sejarah”
(Romo Martinho Gusmao Da Silva,Pr)